Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.
KILAS RASA
memuat
Memuat konten...

k⁰nt⁰l yang Diperebutkan


Aku datang ke rumah Tio dengan dada penuh amarah. Hari itu matahari terasa menyengat, tapi yang membakar tubuhku bukan panas, melainkan kecemburuan yang mendidih. 

Ketika Tio membuka pintu, wajahnya tampak santai, seperti seseorang yang tak menyadari badai sedang menuju ke arahnya.

“Aku mau bicara,” kataku tanpa basa-basi.

Dia mengangkat alis, menyilakan aku masuk. Bau kopi hitam menyeruak dari ruang tamu, aroma yang anehnya membuatku semakin muak.

“Tentang Atma,” lanjutku. “Aku minta kamu menjauhi dia.”

Tio tertawa kecil, suara yang terdengar seperti ejekan. “Kenapa aku harus menjauh?”

“Karena Atma milikku,” suaraku meninggi. “Aku dan dia sudah bersama lama. Kami sudah melalui banyak hal. Dia orang yang aku cintai.”

Tio bersandar ke sofa, menyilangkan tangan. 

“Atma bilang ke aku… dia yang suka padaku.”

Kata-kata itu menghantamku seperti palu. Dadaku serasa diremas. Entah bagaimana wajah Atma muncul jelas di kepalaku—tatapannya yang hangat, senyumnya yang membuatku goyah, tangannya yang selalu terasa tepat menggenggamku. 

Kami sudah menyatu lebih dari sekadar emosi; tubuh kami sudah berulang kali saling menelan rindu dan amarah di ranjang. 

Aku mengenal setiap helaan napasnya, dan dia tahu setiap titik lemahnya aku. Aku ketagihan pada cara dia menyentuhku.

Kehilangan Atma terasa seperti kehilangan oksigen.

“Kalau kalian memang berhubungan, aku tidak peduli,” ucapku pelan, meski suaraku bergetar. 

“Aku tidak menuntut kesetiaan. Aku cuma ingin dia tetap ada untukku. Aku membutuhkannya.”

Tio kembali tertawa, tapi kali ini dingin. “Kamu terdengar menyedihkan.”

Sesuatu di kepalaku meledak. Aku berdiri, mendorongnya keras. Tio bangkit, balas mendorong. Dalam sekejap teriakan memenuhi ruangan.

“Dia milikku!” bentakku.

“Kamu pikir kamu satu-satunya yang dia mau?” Tio melawan, wajahnya merah.

Pintu dibuka dari luar—tetangga kami, Bu Rani, berdiri dengan wajah pucat. Seorang bapak di belakangnya terhenti memegang sapu. 

Mereka menyaksikan bagaimana dua pria dewasa saling berhadapan, nyaris saling memukul, hanya demi seorang pria lain. 

Pemandangan yang mungkin jarang mereka lihat di dunia yang masih percaya cinta itu harus lurus-lurus saja.

“Apa kalian gila?” Bu Rani berbisik.

Kami berhenti. Nafas terengah-engah, keringat membasahi pelipis. Tatapan Tio menantangku, dan aku membalas dengan tatapan tak kalah sengit.

Tiba-tiba suara langkah terdengar dari halaman. Atma muncul, wajahnya shock melihat kekacauan yang tercipta atas namanya. 

Dia memandang kami bergantian, seperti seseorang yang baru menyadari betapa tajam akibat pilihan kecilnya.

“Atma,” panggilku, hampir memohon. “Aku tidak butuh janji apa pun. Aku cuma ingin kamu tetap di sampingku.”

Tio menatap Atma, lebih tenang tapi lebih tajam. “Kamu mau siapa, Atma?”

Sunyi menggantung, lebih memekakkan dari teriakan apa pun.

Aku tahu hubungan kami rumit, bahkan absurd. Tapi cinta memang sering tak rasional. Seringkali kita tak mencari menang atau kalah, hanya mencari seseorang yang membuat kita merasa hidup.

Dan di tengah tatapan warga yang kebingungan, aku menunggu jawaban itu—dengan hati yang siap hancur kapan saja.

Begitulah cinta: medan perang yang tak pernah adil, tapi sulit ditinggalkan.

Short Story