Kenapa Hidup Orang Lain Tampak Lebih Membahagiakan? Sementara Hidupku Begitu Suram



Cahaya lampu fluorescent berdengung di atas kepalaku, menerangi ruangan kubikel yang sempit dengan cahaya steril. 

Mataku, terpaku pada layar komputer, terasa berpasir dan kering. Hari demi hari, tumpukan tugas demi tumpukan tugas, lagi-lagi mengingatkan betapa sengsaranya hidupku.
 
"Kenapa hidup orang lain terlihat jauh lebih bahagia, sementara hidupku suram dan menyedihkan?" pikirku, gelombang iri yang familiar menyapu jiwaku. 

Umpan media sosial ku dipenuhi wajah-wajah bahagia, liburan eksotis, dan hubungan sempurna. Hidupku, di sisi lain, terasa seperti siklus tak berujung dari kerja, tidur, dan ulangi.
 
Aku memperhatikan Sarah, si magang baru, berlarian di sekitar kantor, senyumnya cerah dan menular. Dia begitu mudah menawan, begitu mudah populer, begitu mudah menjadi semua yang tidak kumiliki. 

"Mungkin dia punya akun Instagram rahasia tempat dia memposting semua masalah sebenarnya," gumamku dalam hati, rasa pahit memenuhi mulutku.
 
Yang sebenarnya adalah, aku terjebak dalam lingkaran setan negatif. Aku fokus pada hal-hal buruk, ketidakadilan, dan kekurangan yang kumiliki. 

Aku membandingkan diriku dengan orang lain, selalu mengingatkan diriku sendiri tentang kelemahanku. Aku tenggelam dalam lautan rasa kasihan diri, dan itu mencekikku.
 
Malam itu, aku duduk di tempat tidurku, menggulir media sosial, rasa iri yang familiar kembali muncul. Tapi kali ini, ada sesuatu yang terasa berbeda. 

Sebuah suara kecil di dalam diriku berbisik, "Bagaimana jika kau salah? Bagaimana jika semua orang berjuang dengan cara mereka sendiri?"
 
Aku berhenti, kata-kata itu bergema di pikiranku. Itu adalah pemikiran yang radikal, tantangan bagi negativisme yang sudah mendarah daging di dalam diriku. 

Aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. Bagaimana jika aku mulai mencari hal-hal baik, hal-hal indah, hal-hal yang kumiliki alih-alih hal-hal yang tidak kumiliki?
 
Keesokan harinya, aku memasuki kantor dengan tekad baru. Aku tersenyum pada Sarah, benar-benar tertarik dengan ceritanya. Aku memperhatikan hal-hal kecil: cara sinar matahari menembus jendela, aroma kopi yang diseduh di ruang istirahat, dengungan pelan printer kantor.
 
Itu bukanlah transformasi yang tiba-tiba. Masih ada hari-hari buruk, momen-momen frustrasi, dan rasa iri yang muncul. Tapi aku mulai menangkap diriku sendiri, menantang pikiran-pikiran negatifku, dan memilih untuk fokus pada hal-hal positif.
 
Aku mulai menulis jurnal syukur, menuliskan tiga hal yang kususuri setiap hari. Aku bergabung dengan klub buku, mengelilingi diriku dengan orang-orang yang menginspirasiku, dan mulai menjelajahi hobi baru. Perlahan, aku mulai melihat dunia secara berbeda.
 
Ini bukan tentang mengabaikan tantangan, tetapi tentang menemukan kekuatan untuk menghadapi mereka secara langsung. Ini bukan tentang berpura-pura semuanya sempurna, tetapi tentang mengakui hal-hal baik di tengah hal-hal buruk. 

Ini bukan tentang membandingkan diriku dengan orang lain, tetapi tentang fokus pada perjalananku sendiri.
 
Hidup bukanlah kompetisi. Ini adalah perjalanan, dipenuhi pasang surut, kemenangan dan kekecewaan. Dan kunci kebahagiaan bukanlah tentang memiliki kehidupan yang sempurna, tetapi tentang menemukan kebahagiaan dalam ketidaksempurnaan.
 
Cahaya lampu fluorescent masih berdengung di atas kepalaku, tapi sekarang terasa kurang keras. Tugas-tugas masih menumpuk, tapi terasa kurang menakutkan. Hidupku masih dalam proses, tapi ini adalah proses yang aku pilih untuk nikmati.
 
Aku menatap Sarah, yang masih tersenyum cerah, dan aku membalas senyumannya. Aku tidak iri padanya lagi. Aku melihatnya, bukan sebagai simbol dari semua yang tidak kumiliki, tetapi sebagai sesama pelancong dalam perjalanan yang disebut hidup ini. 

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasakan ketenangan.

Posting Komentar

0 Komentar