Udara dipenuhi aroma melati dan ketegangan tersembunyi di antara mereka. Maya, matanya tertunduk, mengelus pola rumit di atas taplak meja, jantungnya berdebar kencang di dadanya.
Di seberang meja, David, wajahnya dipenuhi rasa bersalah dan kerinduan, mengulurkan tangan ke arahnya.
"Maya," ucapnya, suaranya serak, "Aku tahu aku tak berhak meminta ini, tapi..."
Maya menarik tangannya, keheningan terbentang di antara mereka seperti kawat tegang.
Mereka telah bersama selama lima tahun, sebuah kisah cinta yang bersemi dari pertemuan tak terduga di toko buku hingga menjadi kehidupan yang dipenuhi mimpi dan tawa bersama.
Namun di suatu titik, tawa itu memudar, digantikan oleh jarak yang semakin lebar, jurang yang tak berani mereka akui.
"Ini bukan hanya tentang wanita lain, kan?" Maya akhirnya berkata, suaranya hanya bisikan.
Mata David melebar, kilatan rasa sakit melintas di wajahnya. "Maksudmu?"
"Kamu sudah bersikap dingin selama berbulan-bulan," lanjutnya, suaranya semakin kuat. "Kamu selalu pulang kerja larut, kamu hampir tak pernah menatapku lagi. Rasanya seperti kamu orang asing di rumahmu sendiri."
Dia menghela napas, bahunya merosot dalam kekalahan. "Aku tahu, Maya. Aku sangat menyesal. Aku telah... tersesat."
"Tersesat?" dia mencemooh, tawa pahit lolos dari bibirnya. "Tersesat dalam pelukannya, maksudmu?"
Matanya beralih ke arah lain, rasa bersalah terlihat jelas dalam keheningannya. Wanita lain. Wanita yang menjadi pemicu runtuhnya hubungan mereka, wanita yang telah menunjukkan padanya jenis gairah yang berbeda, kegembiraan yang berbeda.
Dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanya selingan, pelarian sementara dari rutinitas hidup mereka. Tetapi kenyataannya, dia tertarik padanya, pada sensasi terlarang dari pertemuan rahasia mereka.
"Bukan seperti itu," akhirnya dia berhasil berkata, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku masih mencintaimu, Maya. Kamu adalah istriku, sahabatku. Tapi aku... aku butuh sesuatu yang lebih, sesuatu yang berbeda."
"Berbeda?" dia mengulang, suaranya dipenuhi rasa sakit. "Jadi kamu memilih untuk menemukannya di luar pernikahan kita? Kamu memilih untuk mengkhianati sumpah yang kita ucapkan satu sama lain?"
Dia tak menjawab, keheningannya menjadi pengakuan bersalah yang menggelegar. Udara berdesir dengan kata-kata yang tak terucapkan, beban pengkhianatan mereka menekan mereka seperti selimut yang menyesakkan.
"Aku tak tahu harus berkata apa, David," katanya, suaranya gemetar. "Kupikir kita bahagia. Kupikir kita cukup kuat untuk melewati badai apa pun."
"Kita memang kuat," dia memohon, tangannya terulur lagi, kali ini ragu-ragu. "Tolong, Maya, beri kita kesempatan lagi. Aku akan melakukan apa saja untuk memperbaikinya."
Dia menatap tangannya, hatinya tercabik antara amarah dan cinta yang masih dia rasakan untuknya. Pikiran untuk memaafkan, untuk mencoba membangun kembali kepercayaan mereka yang hancur, terasa mustahil.
Namun, pikiran untuk kehilangan dia, untuk kehilangan kehidupan yang telah mereka bangun bersama, sama tak tertahankan.
"Aku butuh waktu," dia berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku butuh waktu untuk berpikir."
Dia mengangguk, matanya memohon pengertiannya. Aroma melati semakin kuat, pengingat pahit tentang cinta yang pernah mekar di antara mereka, kini terancam oleh gulma beracun pengkhianatan.
Saat dia pergi, keheningan di ruangan itu menjadi sangat menusuk. Maya duduk di sana, pikirannya dipenuhi pusaran emosi, hatinya menjadi medan perang cinta dan rasa sakit.
Dia tahu dia harus membuat keputusan, keputusan yang akan menentukan nasib cinta mereka, keputusan yang akan membentuk sisa hidup mereka.
Hari-hari berikutnya terasa seperti kabur, dipenuhi introspeksi, dipenuhi penyesalan atas masa lalu dan masa depan.
Dia memutar ulang pertengkaran mereka, tawa mereka, mimpi mereka yang bersama, setiap kenangan diwarnai rasa pahit pengkhianatan. Dia mencoba membayangkan masa depan dengan David.
0 Komentar