Matahari baru saja mengintip di balik perbukitan, menyapa pagi dengan sinarnya yang hangat. Udara sejuk menyapa kulitku yang sudah terbiasa dengan teriknya mentari.
Aku, Yusak, beranjak dari tempat tidur sederhana di kontrakan kecilku. Hari ini, seperti hari-hari lainnya, aku akan memulai hari dengan keringat dan lelah.
Sejak remaja, aku sudah terbiasa bekerja. Bukan karena aku ingin, tapi karena kebutuhan. Orang tuaku hanya petani kecil, penghasilan mereka tak cukup untuk membiayai sekolahku dan kebutuhan hidup kami.
Aku tak malu, meski teman-teman seumuran sibuk dengan masa muda mereka, bermain, bercanda, dan menikmati masa remaja. Aku memilih jalan berbeda, jalan yang terjal, tapi aku yakin akan mengantarkanku pada masa depan yang lebih baik.
"Hidup itu seperti jalan setapak di tengah hutan, penuh rintangan dan tantangan. Tapi, jika kita berani melangkah, kita akan menemukan keindahan di balik kesulitan," gumamku sambil mengenakan baju kerja usangku.
Hari ini, aku akan bekerja di proyek pembangunan gedung baru di pusat kota. Pekerjaan kasar, mengangkat batu bata, semen, dan material lainnya, membuat tubuhku lelah. Tapi, aku tak pernah mengeluh.
Aku ingat pesan ayahku, "Keringatmu adalah emas, Yusak. Jangan pernah malu dengan pekerjaanmu, selama itu halal dan bermanfaat."
Di tengah teriknya matahari, aku berjibaku dengan tugas-tugas berat. Tubuhku berlumuran keringat, otot-ototku menegang, tapi semangatku tak pernah padam.
Aku membayangkan masa depan, masa depan di mana aku bisa meraih cita-citaku, menjadi seorang arsitek, merancang bangunan-bangunan indah, dan membanggakan orang tuaku.
"Setiap tetes keringat yang menetes adalah bukti perjuanganmu, Yusak. Jangan pernah berhenti berjuang, masa depanmu ada di tanganmu," bisik hatiku.
Saat istirahat makan siang, aku duduk di bawah pohon rindang, menikmati nasi bungkus sederhana yang kubawa dari rumah. Di sekelilingku, teman-teman kerja, para kuli bangunan lainnya, bercerita tentang kehidupan mereka.
Ada yang mengeluh tentang gaji yang tak seberapa, ada yang bercerita tentang mimpi mereka, dan ada juga yang berkeluh kesah tentang beban hidup.
Aku mendengarkan dengan saksama, sambil sesekali menimpali cerita mereka. Aku tahu, hidup mereka tak jauh berbeda denganku. Kami semua adalah pejuang, pejuang yang berjuang untuk hidup yang lebih baik.
"Hidup ini memang tak selalu indah, Yusak. Tapi, kita harus tetap tegar dan pantang menyerah. Karena di balik kesulitan, pasti ada jalan keluar," kata Pak Johan, kepala tukang di proyek ini.
Kata-kata Pak Johan menggugah semangatku. Aku bangkit, kembali bekerja dengan tekad yang lebih kuat. Aku yakin, semua lelah dan keringat yang kurasakan akan terbayar lunas di masa depan.
Sore hari, saat matahari mulai terbenam, aku pulang dengan rasa lelah yang menyelimuti tubuhku. Tapi, hatiku tetap berbunga-bunga. Aku telah menyelesaikan tugas hari ini dengan baik. Aku telah menabung sedikit demi sedikit dari hasil jerih payahku, untuk membiayai pendidikan dan masa depanku.
"Jangan pernah menyerah, Yusak. Teruslah berjuang, masa depanmu ada di tanganmu," bisik hatiku lagi.
Aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan terus berjuang, tak peduli seberat apapun rintangan yang kuhadapi. Aku akan membuktikan bahwa keringat dan lelahku akan membuahkan hasil yang manis. Aku akan meraih cita-citaku, menjadi seorang arsitek yang sukses, dan membanggakan orang tuaku.
"Hidup itu seperti membangun rumah, Yusak. Butuh waktu, tenaga, dan kesabaran. Tapi, jika kita tekun dan pantang menyerah, kita akan membangun rumah impian kita," gumamku sambil tersenyum, menatap langit senja yang indah.
0 Komentar