Cinta Simon dan Bram


"Rahasia di Balik Nama Blue"

Simon Spier duduk di depan laptopnya, menatap layar yang sudah terbuka di kotak masuk emailnya. Pesan dari Blue terpampang di sana, penuh kata-kata manis yang ia baca berulang-ulang. 

Di dunia nyata, ia tidak tahu siapa Blue sebenarnya, tapi di dunia maya, Blue adalah seseorang yang membuatnya merasa diterima apa adanya.

"Aku suka biru. Warnanya tenang, tapi kadang menyimpan kesedihan," begitu salah satu baris dari email Blue yang terus terngiang di kepala Simon.

Di sekolah, Simon berusaha menebak siapa identitas Blue. Ia melihat ke arah Bram Greenfeld di kafetaria—teman satu sekolah yang pendiam tapi selalu menyenangkan di sekitarnya. 

Ada sesuatu di mata Bram, sesuatu yang membuat Simon berpikir, Mungkinkah dia Blue?

Namun, rasa ragu selalu menghantuinya. Bagaimana jika ia salah? Bagaimana jika pengakuannya hanya membuat segalanya menjadi lebih buruk? 

Simon memilih menunggu, membiarkan email-email dari Blue menjadi penghiburannya.


---

Hari karnaval sekolah tiba. Simon berjalan pelan menyusuri lampu-lampu terang yang berpendar di tengah kegelapan malam. 

Ia tahu, ini adalah momen yang ia tunggu-tunggu. Blue telah mengisyaratkan akan ada di sana, siap untuk bertemu dengannya.

Simon berdiri di depan komidi putar, jantungnya berdebar kencang. 

Keramaian di sekitarnya terasa memudar ketika ia melihat sosok Bram berjalan mendekat, ragu-ragu, tapi dengan senyum kecil yang ia kenal dari jauh.

“Simon?” Bram memanggil pelan, matanya bertemu langsung dengan milik Simon.

Simon menelan ludah, mencoba mencari kata-kata. “Bram... itu kamu? Kamu Blue?”

Bram tersenyum, gugup tapi tulus. “Iya, itu aku.”

Kata-kata Bram terasa seperti melepaskan beban yang selama ini Simon bawa. 

Ia ingin berkata sesuatu, tapi suara musik dan sorakan di sekitar mereka menelan semua kecemasan yang tersisa. Tanpa berpikir panjang, Simon meraih tangan Bram.

“Mau naik komidi putar?” tanya Simon, suaranya bergetar.

Bram tersenyum lebih lebar. “Aku pikir kamu nggak akan tanya.”

Mereka naik ke kursi komidi putar, duduk berdampingan. Angin malam yang sejuk menerpa wajah mereka, dan lampu-lampu di sekitar menyinari ekspresi lega Simon dan Bram. 

Di ketinggian, ketika komidi putar berhenti sejenak di puncaknya, Simon menoleh ke arah Bram.

“Aku nggak tahu apa yang bakal terjadi setelah ini,” kata Simon, pelan.

Bram menatapnya, hangat dan penuh pengertian. “Kita akan lihat nanti. Yang penting, kita mulai dari sini.”

Tanpa berpikir panjang, Simon memiringkan kepala, dan bibir mereka bertemu dalam ciuman yang lembut namun penuh keberanian. 

Itu adalah awal dari sesuatu yang Simon tahu akan mengubah hidupnya selamanya.


---

Malam itu, Simon dan Bram turun dari komidi putar dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. 

Dunia di sekeliling mereka terasa lebih terang, lebih hangat, dan lebih nyata. Di antara lampu karnaval, Simon menyadari satu hal—ia tak lagi sendirian.


Posting Komentar

0 Komentar