Nesta dan Aldi, Coklat dan Stroberi



Nesta duduk di sudut ruang tamu, menatap cangkir kopi di tangannya yang kini hanya tinggal ampas. 

Aldi berdiri di dekat jendela, menghisap sebatang rokok, pandangannya menerobos jauh keluar ke jalanan Jakarta yang ramai. 

Suara kendaraan yang bising menjadi latar bagi keheningan yang pekat di antara mereka.

"Jadi itu keputusanmu?" Aldi akhirnya memecah sunyi. 

Suaranya datar, hampir tanpa emosi, tapi Nesta tahu ada badai di baliknya.

Nesta mendongak perlahan. “Aku nggak tahu, Di... Aku cuma butuh waktu. Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini.”

"Kayak gini gimana?" Aldi berbalik, matanya tajam. 

"Hidup dengan orang yang mencintaimu apa adanya? Atau kamu lebih suka lari ke sesuatu yang menurutmu... normal?"

Nesta meremas cangkir di tangannya. 

"Bukan itu maksudku. Aku... aku cuma bingung. Key bikin aku ngerasa beda. Dia bikin aku mikir mungkin... aku bisa berubah."

"Berubah?" Aldi tertawa kecil, tapi getir. 

"Kamu tahu nggak, Nesta? Aku nggak pernah nyuruh kamu jadi seseorang yang bukan dirimu. Aku nerima kamu, lengkap dengan semua kekuranganmu. Tapi sekarang kamu malah nyalahin aku karena aku cinta sama kamu? Karena aku bikin kamu 'nggak normal'?"

Nesta tak bisa menjawab. Kata-kata Aldi menohoknya di tempat yang paling dalam, di titik di mana ia sendiri takut menghadapinya. 

Key adalah simbol dari kehidupan yang "normal," sesuatu yang selama ini ia pikir harus diraih agar diterima oleh dunia. 

Tapi di sisi lain, ada Aldi. Sosok yang selama ini berdiri di sampingnya, melalui tawa, tangis, dan kegagalan.

"Aldi, aku nggak tahu harus gimana." Suara Nesta bergetar. 

"Aku cuma tahu aku takut. Takut sama apa yang orang pikirkan tentang kita. Tentang aku."

Aldi mengangguk pelan, matanya mulai berkaca-kaca. 

"Aku ngerti, Nes. Aku juga takut. Tapi cinta itu nggak pernah tentang orang lain. Itu cuma tentang kita berdua."

Hening kembali menyelimuti ruangan. Kali ini terasa lebih berat, seperti tembok di antara mereka yang semakin tinggi.

"Jadi... kamu mau pergi ke Key?" Aldi akhirnya bertanya, meskipun ia tahu ia mungkin tak ingin mendengar jawabannya.

Nesta menatapnya, lama. Ia ingin menjawab, tapi hatinya terbelah. 

Aldi adalah rumahnya, tempat di mana ia merasa aman, meski dunia di luar penuh penolakan. 

Tapi Key adalah pintu ke dunia yang mungkin lebih mudah, meski terasa asing.

"Aku nggak tahu," jawab Nesta akhirnya, nyaris berbisik.

Aldi mengangguk lagi. Kali ini, ia tersenyum kecil, meski senyum itu tak sampai ke matanya.

"Kalau kamu mau pergi, aku nggak akan tahan kamu. Tapi ingat satu hal, Nesta: kamu bisa cari seseorang yang bikin kamu merasa diterima sama dunia. Tapi nggak ada yang akan mencintaimu seperti aku mencintaimu."

Dengan itu, Aldi memadamkan rokoknya dan melangkah pergi ke kamar. 

Nesta hanya bisa duduk di sana, memandangi pintu yang tertutup, dan bertanya-tanya apakah ia baru saja kehilangan sesuatu yang tak tergantikan.

Di luar, langit mulai mendung. Seperti hati Nesta yang penuh awan kelabu, tanpa tahu kapan hujan akan reda.

Posting Komentar

0 Komentar