Liburanku Bareng BF



Hutan di kaki gunung itu selalu menjadi tempat istimewa bagi Keya dan Biwar. 

Mereka bukan sekadar dua individu yang saling mencintai, tetapi juga pasangan yang menghormati alam dengan sepenuh hati. 

Sejak bertemu, hutan menjadi tempat mereka berbagi cerita, canda, dan impian.

Hari itu, seperti biasa, mereka memutuskan menjelajah ke sungai tersembunyi yang konon dihuni oleh "roh penjaga". 

Keya, dengan tubuh atletisnya, melangkah lebih dulu, membuka jalan bagi Biwar yang melangkah hati-hati di belakangnya. 

Ia mengenakan jeans lusuh yang basah oleh embun, sementara otot-otot tubuhnya yang terlatih mencerminkan kedisiplinannya menjaga diri.

"Biwar, ayo cepat. Sungainya sudah dekat," ujar Keya, tersenyum sambil mengulurkan tangannya.

Biwar tersipu, lalu menyambut uluran tangan Keya. Di matanya, Keya selalu terlihat memukau, tak hanya karena fisiknya, tapi juga keberaniannya. 

Sesampainya di sungai, mereka duduk di atas batu besar yang dihiasi lumut hijau. Air yang mengalir jernih menciptakan suara menenangkan.

"Kamu kenapa suka banget tempat ini?" tanya Biwar sambil memandang Keya.

Keya tersenyum, memandang aliran sungai yang berkilau diterpa cahaya matahari. 

"Karena di sini, kita bisa jadi diri sendiri. Gak ada yang menilai, gak ada kebisingan. Cuma ada alam dan kita."

Namun, hari itu hutan terasa berbeda. Suara gemerisik daun terdengar lebih sering, dan arus sungai yang biasanya tenang mulai menunjukkan riak yang aneh. 

Di tengah candaan mereka, terdengar suara asing—seperti desahan lembut, tapi membawa nada misterius yang menusuk.

Biwar menggenggam tangan Keya erat. "Kamu denger itu?"

Keya mengangguk, mencoba tetap tenang meski firasat buruk mulai menyelinap. 

"Mungkin cuma angin," jawabnya, meski ia tahu ada sesuatu yang lebih dari itu.

Dengan penuh rasa ingin tahu, mereka mengikuti arah suara. Di sebuah tikungan sungai, mereka menemukan batu besar dengan pahatan simbol kuno. 

Di atasnya tergantung tas usang yang tampak seperti sudah ada di sana bertahun-tahun.

"Tas siapa itu?" tanya Biwar, suaranya bergetar.

Keya mendekat, memeriksa simbol di batu. "Entahlah, tapi ini menarik."

Saat ia menyentuh tas itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Sungai yang tadinya jernih mendadak menjadi gelap, dan arusnya semakin deras. 

Biwar memeluk Keya, wajahnya dipenuhi kecemasan. "Keya, apa yang terjadi?"

Keya merangkul Biwar erat, berusaha menenangkannya. "Tenang, aku di sini."

Di tengah kekacauan itu, bayangan besar muncul dari atas batu. Sosok itu tampak seperti manusia, tapi tubuhnya terbungkus akar-akar pohon yang menjuntai. 

Suaranya dalam dan menggema, "Siapa yang berani mengganggu tempat ini?"

Dengan keberanian yang luar biasa, Keya menjawab, "Kami tidak bermaksud mengganggu. Kami hanya ingin memahami dan menghormati tempat ini. Jika kami salah, maafkan kami."

Sosok itu terdiam beberapa saat, lalu berbicara lagi. 

"Hutan ini adalah rumahku, tapi juga rumah kalian. Hormati dan jagalah ia, maka ia akan melindungimu."

Perlahan, sungai kembali jernih, dan bayangan itu menghilang seperti asap yang ditiup angin. 

Keya dan Biwar saling pandang, berusaha mencerna apa yang baru saja mereka alami. 

Ketakutan bercampur rasa kagum memenuhi hati mereka.

Dalam perjalanan pulang, Keya menggenggam tangan Biwar dengan lembut. 

"Kita belajar sesuatu hari ini. Hutan ini bukan cuma tempat kita berbagi, tapi juga tempat kehidupan lain yang harus kita jaga."

Biwar mengangguk, rasa hormat kepada hutan itu kini tumbuh lebih dalam. 

Petualangan itu menjadi kenangan yang menguatkan cinta mereka sekaligus rasa tanggung jawab terhadap alam. 

Hutan, sungai, dan akar-akar itu kini menjadi saksi perjalanan cinta mereka yang sederhana, namun penuh makna.

Posting Komentar

0 Komentar