Sejak Aldo diterima bekerja di Taiwan, hubungan kami berubah. Kami harus menjalani hubungan jarak jauh, sesuatu yang sebelumnya tak pernah terbayangkan.
Dia hanya pulang setahun sekali, dan setiap kepulangannya selalu membawa letupan rindu yang tak terbendung.
Waktu terasa berjalan lambat saat dia pergi, tapi melesat cepat saat dia kembali.
Awal tahun ini, Aldo berhasil merapel cuti libur Natal dan Tahun Baru. Dua minggu, hanya itu waktu yang kami punya. Dalam waktu singkat itu, tak ada satu pun momen yang ingin kulewatkan tanpa dia.
Aku ingin setiap detiknya dihabiskan bersama, seakan dunia berhenti hanya untuk kami berdua.
Aldo adalah pria yang sederhana tapi penuh kejutan. Salah satu hal yang selalu membuatku takjub adalah kemampuannya memasak.
Dia jago membuat sosis ikan kakap yang digoreng dengan taburan bawang goreng, makanan favoritku.
Rasanya tak ada yang bisa menandingi hidangan itu, terutama karena dibuat dengan tangannya sendiri.
Setiap gigitan membawa rasa cinta dan kerinduan yang terpendam selama setahun.
Sejak bekerja di Taiwan, ada banyak perubahan dalam dirinya. Tubuhnya yang dulu biasa saja kini terlihat atletis dan berotot.
Setiap kali dia memelukku, aku bisa merasakan kehangatan dan kekuatan dalam dekapannya.
Saat kami berhubungan intim, terasa performanya yang berbeda, durasi lebih panjang, dan lengan yang biasa kupegang lebih keras berlekuk.
Itu membuatku semakin kagum dan jatuh cinta padanya, lagi dan lagi.
Namun, waktu selalu kejam. Dua minggu itu berlalu dengan cepat, dan hari keberangkatannya pun tiba.
Hari terakhir cuti liburnya, kami hanya berdua di kamar, tidur berpelukan, telanjang.
Sesekali aku nyepong kontol beruratnya, atau duduk di atasnya sambil bergoyang.
Gaya favorit Aldo adalah deep butterfly, dan kami bisa melakukannya seharian penuh.
Setelah ini kami hanya bisa video call, dan coli kalau hasrat tak tertahan.
Saat dia menggenjotku di ronde terakhir, entah kenapa air mataku mengucur deras.
Aldo mencoba menenangkanku dengan pelukan dalam, tubuh kami basah oleh keringat, berpadu dengan sperma yang kuminta muncratkan di atas perut.
-00-
Aku mengantarnya ke bandara dengan hati yang terasa berat. Sepanjang perjalanan, kami lebih banyak diam.
Hanya genggaman tangannya yang erat di jemariku yang berbicara, seakan ingin mengatakan, “Aku juga tidak ingin pergi.”
Saat kami tiba di pintu keberangkatan, aku mencoba tersenyum meski hati terasa remuk. “Jaga kesehatan, ya,” kataku, suaraku bergetar menahan tangis.
Dia mengangguk, matanya menatapku penuh sayang.
“Kamu juga. Jangan lupa makan teratur, jangan terlalu sering begadang,” balasnya, suaranya lembut tapi tegas.
Dia lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya dan menyerahkannya padaku.
“Buka nanti di rumah, ya,” katanya, sebelum memelukku erat untuk terakhir kali.
Aku menahan air mata sekuat tenaga saat dia melangkah masuk ke ruang keberangkatan. Namun, begitu punggungnya menghilang dari pandangan, aku tak mampu lagi. Air mataku mengalir tanpa henti.
Sesampainya di rumah, aku membuka kotak kecil yang dia berikan. Di dalamnya ada sebuah gelang kecil yang terbuat dari tali sederhana, dengan liontin kecil berbentuk hati. Di belakang liontin itu terukir tulisan kecil: “Untuk kita yang tetap satu, meski jarak memisahkan.”
Aku memeluk gelang itu erat, merasakan kehangatan cinta yang dia tinggalkan. Meski berat melepasnya pergi, aku tahu bahwa cinta kami jauh lebih kuat dari sekadar jarak.
Setiap detik yang kami lalui terpisah hanya akan membuat pertemuan berikutnya semakin berharga.
Dan aku akan menunggu, seperti biasa.
0 Komentar