Kenapa dulu aku putusin dia?



Sore itu, langit Jakarta dilukis warna jingga keunguan khas senja.
Angin semilir masih hangat, nyapu lembut di antara pepohonan rindang di Taman Suropati.

Bau jalanan, dedaunan kering, dan debu kota nyatu jadi satu—aroma khas sore-sore di Jakarta.

Edgar lagi sibuk beresin kabel di deket panggung kecil. Dia pakai kemeja flanel abu-abu baru dan celana jeans hitam yang pas banget di badannya.


Sekarang badannya jauh lebih kekar—hasil rajin nge-gym setahun belakangan. Bahunya makin lebar, lengannya makin berisi.


Rambutnya yang agak ikal disisir rapi ke belakang, nunjukin wajahnya yang bersih dan tegas.


Ada anting kecil di kupingnya, bikin penampilannya makin kekinian.
Dulu Edgar dikenal pendiam dan agak berantakan, tapi sekarang auranya beda—lebih pede dan kelihatan udah berdamai sama dirinya sendiri.


Matanya yang dulu sering sendu, sekarang nyala—penuh ketenangan dan tekad. Dia udah bukan Edgar yang hancur-hancuran kayak dulu.

Setahun lalu, di tempat yang sama, Reza—mantannya—mutusin dia.
Kenangan itu datang lagi, nusuk banget rasanya. 

Reza, dengan jaket kulit hitam dan rambut panjangnya yang nutupin mata, ngomong tanpa ekspresi,

“Aku udah nemu orang yang lebih cocok buatku.”

Datar. Dingin. Nggak ada rasa bersalah sedikit pun.

Reza yang dulunya manis dan romantis, sekarang kelihatan jauh lebih dingin dan misterius.

Dia ninggalin Edgar yang duduk bengong di bangku taman, air mata netes terus, hatinya kayak diremukin.

Segalanya runtuh waktu itu. Edgar masih inget gimana dinginnya ubin taman, gimana pedihnya kata-kata Reza, dan gimana sepinya taman setelah Reza pergi.

Dia tahu Reza sekarang sama Fandi, seniman grafis yang lebih nyeni dan ekspresif daripada dirinya yang dulu cuma desainer grafis biasa di kantor kecil.

Dulu dia sering ngerasa minder, apalagi dibandingin sama Reza yang selalu kelihatan keren dan karismatik.

Tapi sekarang beda cerita. Edgar udah jadi otaknya tim Desain & Produksi buat event musik ini.
Dia yang ngatur semua—dari panggung, lampu, sampai visual.

Skill-nya makin mateng, dan itu kelihatan banget dari hasil kerjanya.
Panggung yang dia rancang keliatan keren banget di bawah langit senja.

Penataan lampu, warna, semua detail dipikirin bener-bener. Kreativitasnya naik level.

Lalu, di tengah keramaian kru band, Edgar liat Reza. Masih dengan gitar kesayangannya yang udah agak buluk, Reza siap tampil jadi gitaris band pembuka.

Dia kelihatan lebih santai dan pede sekarang. Tatapan mereka ketemu. Hening. Canggung. Tapi di mata Reza, kelihatan kayak ada sisa-sisa penyesalan.

Habis tampil, Reza nyamperin Edgar.

“Edgar,” sapanya pelan. “Kamu… kamu beda sekarang.”

Dia kelihatan takjub. Edgar yang dulu kurus dan rapuh, sekarang jauh lebih dewasa, lebih ganteng, lebih glow up.

“Ya,” jawab Edgar singkat, dingin.
“Kamu gimana?” tanya Reza.
“Baik.”

Reza nyoba minta nomor WA, tapi Edgar nolak halus, tapi jelas.

“Buat apa?” katanya. “Aku nggak mau ngulangin kesalahan yang sama.”

Reza masih nyoba ngejar, minta maaf, jelasin macem-macem. Tapi perasaan Edgar udah nggak sama.

Lukanya mungkin udah sembuh, tapi bekasnya masih ada. Dia udah bangun hidupnya dari nol, dan sekarang dia jauh lebih kuat.

Nggak ada lagi ruang buat orang yang pernah ninggalin dia kayak dulu.
Edgar senyum tipis. Senyum yang bilang, “Gue udah baik-baik aja, tanpa lo.”

“Temenan aja, boleh kali?” kata Reza akhirnya.

Edgar ngeluarin napas pelan.
“Aku lagi sibuk. Kalau nggak ada hal penting soal event, jangan ganggu ya,” jawabnya datar.

Reza pergi, masih nyimpen rasa nggak percaya. Di pikirannya masih kebayang jelas badan kurus Edgar waktu itu—boti yang dia kuasai di kamar kos.

Sekarang malah dia yang kalah jauh. Edgar yang sekarang udah beda. Lebih dari sekadar boti. Dia udah jadi versi terbaik dirinya.

Posting Komentar

0 Komentar