Kenapa Kamu Harus Kembali ke Jakarta?




"Aku udah di rumah, nanti malem bisa ketemu?"

Sebuah pesan darimu membuatku nyari terjungkal dari kursi, kaget bercampur bahagia.

Sebelumnya, kamu tak pernah memberi kabar apapun jika akan mudik tahun ini.

Namun aku bahagia mendapatkan pesan ini. Malamnya, aku langsung menuju rumahmu.

"Mau takbiran?" candamu.

Awalnya, aku ingin mengajakmu keluar, namun jalanan pasti ramai. Namun berdua di kamarmu juga bukan hal buruk.

"Kapan terakhir kita ngobrol di kamar ini?" tanyamu.

"Empat tahun lalu," jawabku.

Sudah empat tahun, itu bukan waktu sebentar, selama ini kita hanya saling menonton story.

"Kangen cuk," lanjutku.

Kamu tertawa.

"Apa, sekali lagi aku gak denger," godamu.

"Kangen cuk," ucapku lagi sambil menunduk.

Kamu makin tertawa terbahak-bahak, lalu telapak tanganmu yang mengusap kasar rambutku.

Kami rebahan di kasur, bersebelahan, jendala kamar Hilal yang besar membuat langit malam tampak jelas.

Aku mengenang perpisahan melodramatis saat dia memutuskan bekerja di Jakarta, beberapa bulan pertama hidupku terasa sangat sepi.

Hilal sudah seperti saudaraku, kami satu kelas sejak awal masuk SMA. Dia seorang yatim dan kini ibunya sudah menikah dan tinggal di kota sebelah.

Rumah bergaya lama ini diwariskan padanya, namun tak berpenghuni, hanya rutin dibersihkan oleh Pak Kasim sehingga masih terawat.

Di rumah ini banyak kenangan antara kami, aku lebih sering menginap di rumah ini dibanding rumahku sendiri, terutama sejak SMA.

Ibuku memahami, hitung-hitung buat menemani Hilal daripada sendirian.

Di rumah ini pula kami memutuskan suatu yang penting, dan tak terbayangkan sebelumnya.

Suatu sore aku mau mandi dan tanpa permisi membuka pintu kamar mandi, Hilal sedang coli dan kontolnya yang tegang maksimal terlihat jelas.

"Anjirr kalo mau masuk ketuk pintu dulu," protesnya.

"Pintu ini kan emang nutup, salah sendiri gak dikunci."

"Gue lupa anjirr."

"Udah kelar belom?"

"Apanya?"

"Ngocokmu udah kelar belum?"

Dia gak jawab, lalu keluar kamar mandi setelah memakai celana pendek. Wajahnya tampak kesal.

Aku tersenyum kecil, dan rada kocak aja liat dia coli di kamar mandi.

***

Malamnya, dia lebih banyak diam, sepertinya masih kesal.

"Maafin aku soal tadi sore, marahnya jangan kelamaan," ucapku.

Dia hanya mendengus.

"Tadi belum sampe keluar ya, sorry..."

"Husssttt... lu bisa diem gak sih?" tukasnya.

"Yodah sini tak keluarin," tawarku.

"Gila, lu homo?"

"Enggak lah, kan cuma ngocokin, daripada kamu terusan ngambek."

Kami saling menatap, agak lama.

"Mau gak?" tawarku lagi.

Dia menggelengkan kepala.

"Lu gila ya."

"Gimana sih, mau gak?"

Hilal tampak ragu, mungkin dia bingung antara mau menolak langsung atau mencoba hal baru, dikocokin temen.

Bersambung


Posting Komentar

0 Komentar