Dia B0ti-ku
Aku bertemu Rasya di sebuah aplikasi pelangi. Nama itu muncul di layar ponselku dengan foto profil yang langsung menggiring ingatan ke masa kecil, senyum yang masih sama, bola mata bening, dan dagu kecil yang dulu sering aku cubit sewaktu SD.
“Rasya…? SD ***?” ketikku cepat.
Butuh waktu lima menit sampai balasan itu datang. Tapi ketika akhirnya muncul, detak jantungku seperti kembali ke jam istirahat dua puluh tahun lalu.
“Gilang? Astaga. Kamu top ya?”
Aku tertawa, lalu membalas, “Dan kamu…? Boti?”
Emoji peluk dan pelangi berhamburan di layar. Sejak saat itu, kami tak pernah absen menyapa satu sama lain. Dua minggu kemudian, kami bertemu di sebuah kafe bergaya vintage di sudut kota.
Kafe itu bernama Teras Senja. Bangunannya dari kayu jati tua, dengan jendela besar yang menghadap ke taman lavender.
Rasya datang mengenakan kemeja linen abu dan celana putih. Rambutnya disisir rapi, wangi seperti musim hujan yang baru turun.
“Aku nggak nyangka kamu berubah seganteng ini,” katanya sambil menyeruput latte, tatapan matanya menyelam ke dalam mataku.
“Dan kamu nggak berubah, masih secerah dulu. Rasya kecil yang suka main petak umpet,” kataku.
Dia tertawa, jenaka dan lepas, seperti dulu.
Pertemuan itu tak menjadi yang terakhir. Kami sering nongkrong, nonton konser kecil di sudut kota, makan es krim tengah malam, bahkan duduk diam di taman hanya untuk berbagi kesunyian. Tak perlu banyak kata, kami saling tahu kapan bicara dan kapan cukup diam.
Suatu malam, kami ke pantai. Langit gelap, hanya dihiasi lampu-lampu warung kelapa muda dan bintang yang malas muncul.
“Aku suka laut,” kata Rasya, duduk di pasir, menggambar bentuk hati dengan jari.
“Kenapa?” tanyaku.
“Karena dia luas… dan dalam. Seperti perasaan yang nggak pernah cukup dijelaskan dengan kata.”
Aku menatapnya, “Seperti kamu.”
Ia tersenyum kecil, dan untuk pertama kalinya, menggenggam tanganku. Hangatnya menembus kulit dan dinding yang selama ini kubangun sendiri.
Kami tahu batas. Tapi tak perlu berkata apa-apa. Ia boti, dan aku top. Dua bentuk yang mungkin di luar sana dianggap asing, tapi di antara kami, saling melengkapi.
Dia menginap di kamarku, dan malam itu Rasya mengijinkanku menjamah lubang lembutnya yang sempit, tentu dengan balutan kondom dan pelumas.
Kami tak perlu ikatan untuk menjelaskan jika kami saling membutuhkan.
Rasya membutuhkan genjotanku, dan aku mendambakan jepitannya. Kadang Rasya juga senang mengulum penisku semalaman seperti bayi menghisap susu.
Aku juga ketagihan ndusel di antara dadanya yang berlemak dan imut, nyaman sekali.
Akhir pekan itu, aku ajak dia ke sebuah villa sejuk di pegunungan. Udara tipis, kabut menggantung di antara pinus-pinus tinggi, dan suara serangga jadi musik pengantar malam.
Villa itu bernama Rumah Embun. Dari terasnya, terlihat lembah luas dan cahaya kota yang berkedip seperti isyarat rindu.
“Kalau aku punya tempat kayak gini, aku nggak akan pulang,” kata Rasya sambil menyelimuti dirinya dengan selimut rajut.
“Kamu bisa tinggal di sini… asal sama aku.”
Dia melirikku, “Kamu serius?”
“Sejak hari kita bertemu lagi.”
Malam itu kami duduk berdua di depan perapian. Suara kayu terbakar seperti napas yang menenangkan. Rasya bersandar di bahuku.
Kami berpagut mesra, menjilati puting dan melepas seluruh busana, dua kondom terpakai untuk malam yang panjang diselingi obrolan renyah.
“Aku selalu merasa sendiri di dunia ini, Gilang,” katanya pelan. “Tapi sama kamu, aku merasa pulang.”
Aku memeluknya. “Aku pun begitu. Dunia bisa menghakimi, tapi di ruang ini… hanya ada kita dan kejujuran yang lembut.”
"Keluarin," pintanya.
Pelukan semakin erat sambil memeluknya, lenguh panjang saat pejuhku merembes keluar di dalam lubangnya meski terhalang karet bening dari kondom yang kupakai.
Betapapun Rasya mengijinkan, aku tak ingin membiarkan cairan spermaku masuk ke tubuhnya. Bukan karena tak sayang, justru karena aku menyayanginya.
Waktu berjalan, dan musim pun berganti. Kami tetap dua pria yang belum menikah. Tetap dianggap sahabat oleh dunia luar, tapi di ruang batin kami, ada cinta yang tak perlu pengakuan.
Kami hidup dalam lapisan yang tak semua orang bisa pahami—tapi kami tak lagi butuh pengertian dunia.
Yang kami tahu, kami saling melengkapi, Rasya adalah botiku dan aku adalah topnya. Kami tidak pernah berikrar sebagai kekasih, namun sejak bertemu Rasya aku tak lagi coli, semua kulampiaskan padanya.

