Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.
KILAS RASA
memuat
Memuat konten...

Dia Sudah Punya Istri



Aku tiba di Villa Aruna dengan tubuh letih, setelah menempuh perjalanan panjang dari kota tempatku bekerja. Tiga hari pelatihan pengelolaan keuangan untuk staf perusahaan retail se-Jawa. 

Aku tak berharap apa-apa selain materi dan mungkin sedikit udara segar dari pegunungan.

Namun, namanya Milhan. Tertulis di papan nama kecil yang tergantung di dadanya. Kami satu kelompok. Posturnya biasa saja, bahkan cenderung tak mencolok. 

Namun senyumnya jernih, suaranya berat tapi lembut, dan caranya memandang orang lain... membuatku merasa diperhatikan.

“Aku dari cabang Kudus,” katanya, menjulurkan tangan.

“Aku dari Nganjuk,” jawabku pelan, menghindari tatapannya yang terlalu dalam.

Hari pertama berlalu dengan presentasi dan simulasi angka-angka yang membosankan. Tapi Milhan membuat segalanya terasa ringan. 

Dia tak pernah pelit senyum, kerap menoleh padaku jika ingin memastikan aku mengerti atau sekadar melontarkan candaan kecil.

Dan aku mulai merasa nyaman.

Rasa nyaman yang berbahaya.

Di sela jam makan siang, kami duduk di beranda, menikmati udara dingin yang menyusup lewat sela-sela pohon pinus. Ia membuka jaketnya, dan lengan bajunya tersingkap—di sana, sebuah cincin mengilat di jari manis.

Hatiku tenggelam perlahan, seperti daun kering yang jatuh ke permukaan air dan perlahan tenggelam ke dasar kolam.

“Sudah berkeluarga ya?” tanyaku mencoba tenang.

“Iya,” jawabnya ringan. “Anakku satu, masih bayi.”

Aku mengangguk. Tak tahu harus merespons apa. Senyumku kaku. Dan entah kenapa, mataku terasa hangat.

Selama ini aku terbiasa menyembunyikan banyak hal. Tumbuh dengan rasa salah yang tak tahu akar. Mencintai dalam diam. Mengagumi dari kejauhan. Dan seringkali, mencintai yang tak bisa kumiliki.

“Kadang aku bertanya,” gumamku pada malam kedua, ketika kami berbincang berdua di gazebo, 

“kenapa aku dilahirkan begini. Kenapa harus mencintai seseorang yang tak bisa kubawa pulang.”

Milhan menoleh, menatapku serius untuk pertama kalinya.

“Kamu orang baik,” katanya lirih. “Dan perasaanmu bukan dosa.”

Aku mengalihkan pandang. Bulan menggantung di langit, temaram dan malu-malu. Angin malam menggigilkan tubuhku, tapi ucapannya menyalakan api kecil di dalam dada.

Aku tahu, tidak akan ada yang terjadi. Tidak akan ada pelukan. Tidak akan ada ciuman. Tidak akan ada kata “aku juga mencintaimu”.

Tapi kadang, satu kalimat pengakuan bahwa aku tidak salah… cukup untuk menyelamatkanku dari kehampaan.

Hari ketiga datang seperti akhir lagu yang tak ingin kudengar. Kami saling bertukar kontak, basa-basi yang tak akan diteruskan. Di parkiran, sebelum pulang, ia menepuk pundakku.

“Jaga dirimu baik-baik, ya.”

Aku mengangguk. Bibirku tersenyum, tapi hatiku masih belum rela melepaskan.

Perjalanan pulang seperti berjalan mundur dalam mimpi. Tapi aku tahu, tiga hari di Villa Aruna telah memberiku sesuatu yang lebih dari sekadar pelatihan.

Tiga hari yang mengajarkanku, bahwa meski dunia belum bisa memahami warna pelangi, aku tetap berhak mencintai, meski dalam diam.

Kilas Rasa