Tubuh yang Enak Dipeluk
Ujian masuk perguruan tinggi benar-benar bikin otak serasa kebakar. Setiap hari aku belajar sampai larut, kadang malah ketiduran di atas buku.
Untungnya, selama masa ujian ini aku numpang tinggal di rumah kakakku. Dia tinggal bareng suaminya, Kak Risyad.
Rumah mereka lumayan nyaman, ada kamar kosong yang bisa kupakai. Rasanya agak canggung awal-awal, soalnya mereka baru setahun menikah.
Tapi lama-lama aku terbiasa, apalagi Kak Risyad orangnya asik, suka becanda, dan—meskipun aku jarang ngomong—aku tahu dia punya keahlian masak yang bikin kagum.
Malam itu, aku kebangun jam dua lewat. Tenggorokan kering banget. Akhirnya aku keluar kamar, menuju dapur buat ambil air.
Pas sampai sana, aku kaget. Ada seseorang berdiri di depan kompor, sibuk dengan wajan.
Ternyata Kak Risyad.
Dia cuma pakai celana pendek warna merah, badannya keliatan jelas. Tegap, berisi, khas cowok umur tiga puluhan yang rajin jaga tubuh. Dari belakang aja udah keliatan menarik.
Aku buru-buru buang jauh pikiran aneh yang tiba-tiba muncul. Itu suami kakakku sendiri, bro. Harusnya gak boleh mikir macem-macem.
Tapi ya namanya juga manusia… kadang pikiran suka nyelonong.
“Belum tidur?” tanyanya sambil noleh, masih pegang spatula.
Aku cepat-cepat jawab, “Kebangun, Kak. Haus.”
Dia senyum, lalu balik lagi ngurusin wajan.
Aku jalan ke kulkas, ngambil botol air dingin, lalu duduk di sofa ruang tengah yang letaknya nyambung sama dapur. Dari situ aku bisa lihat jelas punggung dan lengannya.
Diam-diam aku memperhatikan. Punggungnya lebar, kulitnya agak sawo matang, dan otot lengannya kelihatan jelas tiap kali dia ngaduk wajan. Entah kenapa, rasanya kayak ada dorongan pengen meluk dari belakang.
Sial. Aku langsung geleng-geleng kepala, mencoba sadar diri.
“Lagi bikin apa, Kak?” tanyaku, mencoba alihin pikiran.
“Omlet. Tadi tiba-tiba laper, padahal udah makan malam. Kamu mau?” katanya santai.
Aku nyengir kecil. “Jam segini makan? Besok perut protes kali.”
Dia ketawa. “Yaudah, kalau gak mau, biar aku aja yang habisin.”
Aku diam, masih duduk di sofa sambil sesekali nyeruput air. Rasanya agak aneh, duduk begini tengah malam, hanya berdua dengan Kak Risyad.
Beberapa menit kemudian, dia selesai masak. Omletnya ditaruh di piring, terus dia ikut duduk di sampingku.
Bayangin, cowok segede itu, cuma pakai kolor, duduk santai di sebelahku. Aku bisa cium aroma minyak wangi samar bercampur bau telur dadar yang masih hangat.
“Cobain dikit deh. Gak enak kalau makan sendirian,” katanya, sambil nyodorin garpu yang udah ada potongan omlet.
Aku sempet ragu, tapi akhirnya nurut. Aku buka mulut, dia suapin. Rasanya enak banget. Bukan cuma karena masakannya yang pas, tapi juga karena… ya, situasinya bikin deg-degan.
“Gimana? Enak?” tanyanya.
Aku cepat-cepat jawab, “Enak, Kak. Emang jago masak.”
Dia senyum lagi, santai banget. Sementara aku malah makin kikuk.
“Lagian, Kak Imel kan biasanya pulang jam sepuluh malem ya?” tanyaku iseng, biar gak terlalu hening.
“Iya, tapi hari ini lagi ada lembur. Tidur di kantor,” jawabnya.
Aku angguk-angguk, tapi dalam hati agak gak tenang. Berarti malam ini cuma ada aku sama Kak Risyad di rumah.
Dia lanjut makan, sementara aku berusaha fokus minum air lagi. Tapi mataku kadang nyelonong ke arah lengannya yang kekar, urat-uratnya kelihatan jelas.
“Aneh ya, kita berdua doang begini. Biasanya ada Imel ikut nimbrung,” kata Kak Risyad, nada suaranya ringan.
“Iya sih, agak sepi,” jawabku.
Dia menoleh, senyumnya lebar. “Tapi enak juga, rumah jadi hening.”
Aku cuma ketawa kecil. Dalam hati, perasaanku campur aduk. Antara kagum, canggung, dan… ya, sedikit khayal yang gak pantas.
Setelah piringnya kosong, dia nyender ke sofa. Tangannya naik, diletakkan di belakang kepala. Posisi itu bikin dadanya keliatan lebih bidang.
Aku buru-buru buang pandangan.
Dia tiba-tiba nyeletuk, “Kamu gak usah tegang gitu, santai aja. Kan kita sama-sama cowok.”
Aku spontan kaget. “Hah? Tegang apaan?”
Dia ketawa. “Gak, maksudnya keliatan kamu kayak bingung gitu. Padahal aku cuma ngajak ngobrol.”
Aku tarik napas panjang. “Hehe, iya Kak. Mungkin gara-gara masih kepikiran ujian besok.”
“Oh iya, bener juga. Kamu lagi persiapan ya. Santai aja, jangan terlalu stress. Kalau mau, kapan-kapan aku bikinin makanan sehat biar otak fresh,” katanya.
“Wah, serius Kak? Mau dong.”
“Ya udah, deal. Tapi kamu harus janji jangan sering-sering begadang. Percuma belajar kalau badan gak fit.”
Aku cuma bisa senyum. “Siap, Kak.”
Hening sebentar. TV di ruang tengah nyala tanpa suara, hanya lampu dapur yang menerangi ruangan.
Entah kenapa, malam itu terasa agak panjang. Aku bisa merasakan kalau jarak antara aku dan Kak Risyad tipis banget, padahal cuma duduk biasa.
Dalam hati aku sadar, gak boleh kebawa perasaan. Dia itu suami kakakku sendiri. Gak pantas kalau aku mikirin macam-macam.
Akhirnya aku bangkit berdiri, mencoba akhiri momen itu. “Aku balik kamar dulu ya, Kak. Takut kebablasan bangun kesiangan besok.”
Dia menoleh, senyum kecil. “Oke, tidur yang nyenyak. Semoga ujianmu lancar.”
Aku angguk. “Makasih, Kak.”
Aku jalan masuk kamar, lalu rebahan di kasur. Tapi mataku susah merem. Bayangan punggungnya, lengannya, bahkan cara dia nyuapin tadi terus muter di kepalaku.
Aku tarik napas panjang. Astaga, jangan sampai aku kebawa perasaan ke orang yang salah.
Malam itu, aku belajar keras bukan cuma buat ujian perguruan tinggi, tapi juga buat ujian hatiku sendiri.
Padahal kayaknya tadi enak kalau tiba-tiba duduk di pangkuan kak Risyad, pelorotin celananya dan nypong.
Kontol kak Risyad kayaknya bagus. Haha
