Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.
KILAS RASA
memuat
Memuat konten...

Dia Tidur Gak Pake Semvak



Diko kaget bukan main pagi itu.

Ia baru saja hendak mengambil charger yang jatuh di lantai kamar kos ketika matanya—entah kenapa—terpaku pada pemandangan yang tak semestinya. 

Di ranjang sebelah, Hilal, teman sekamarnya, tidur telungkup... tanpa celana dalam. 

Selimut yang biasa menutupi pinggangnya tergulung ke bawah, dan Diko langsung menarik napas panjang.

“Hilal…” gumamnya, setengah menahan tawa, setengah ngeri.

Ia buru-buru menutup tirai, lalu pura-pura mencari sesuatu di meja belajar. 

Tapi rasa penasaran itu menggerogoti otaknya seperti semut menemukan gula. Begitu Hilal bangun, Diko tak tahan untuk bertanya.

“Bro,” katanya sambil menyeruput kopi sachet murahan, “aku nggak salah lihat tadi, kan? Kamu tidur… gak pake sempak?”

Hilal, dengan mata masih setengah tertutup, menguap panjang lalu nyengir.

“Ya. Emang kenapa?”

“Ya kenapa-kenapa, bro! Gila aja, masa cowok tidur bugil separuh begitu?”

Hilal tertawa renyah, seperti sudah sering mendengar komentar begitu. 

“Diko, kamu tuh ketinggalan zaman. Ini tuh kebiasaan sehat. Ada artikelnya, ilmiah malah. Tidur tanpa celana dalam itu bisa ningkatin sirkulasi darah di area... ya kamu tau lah, kontol.”

Diko menatapnya dengan wajah bingung antara jijik dan penasaran. 

“Ilmiah dari mana coba? Situs aneh-aneh lagi?”

“Nggak. Serius, aku baca di Healthline dan beberapa jurnal kesehatan. Bahkan katanya bisa ningkatin kualitas sperma sampe tiga puluh persen.”

Diko meneguk kopinya yang tiba-tiba terasa terlalu pahit.

“Tiga puluh persen? Kamu mau lomba produksi sperma apa gimana?”

Hilal tertawa keras sampai hampir tumpah air putih di gelasnya. 

“Bukan gitu, Dik. Ini soal kesehatan. Celana dalam itu menjebak panas, bikin testis kepanasan, akhirnya sperma rusak. Kalau tidur tanpa celana, suhu di bawah bisa turun dua sampai tiga derajat. Ideal banget buat produksi sperma.”

Diko mendengus. “Kamu tuh ngomongnya kayak dosen biologi yang lagi bahas anatomi.”

“Lah, ini fakta medis, bro,” balas Hilal enteng. Ia duduk di pinggir ranjang, merapikan rambutnya yang acak-acakan, lalu menambahkan, 

“Selain itu, bisa bantu sirkulasi darah, bikin ereksi lebih lancar, terus tidur juga lebih nyenyak. Udara bebas gitu loh, tubuh rileks.”

Diko langsung mengangkat tangan. 

“Cukup! Aku nggak butuh bayangan tambahan tentang tubuh kamu yang ‘rileks’ itu.”

Tapi malamnya, di tengah hawa kos yang pengap dan kipas angin yang berdecit, pikiran Diko kembali melayang ke omongan Hilal. 

Tentang sirkulasi darah, suhu testis, dan tidur lebih nyenyak. Ia menatap celana dalamnya yang sudah agak melar di gantungan.

“Ah, masa iya sih…” gumamnya. 

Kalau dipikir pikir, kontol Hilal ngacengnya bisa maksimal dan kalau crot banyak banget.

Minimal, dia gak cuma ngomong sih kayaknya.

Tapi rasa penasaran selalu menang melawan logika. Akhirnya, malam itu, Diko mencoba tidur tanpa celana dalam—tentu dengan lampu dimatikan dan pintu dikunci rapat-rapat.

Awalnya aneh. Dingin. Agak malu pada diri sendiri. Tapi setelah beberapa menit, tubuhnya terasa lebih ringan. 

Entah sugesti atau fakta, ia tidur lebih cepat dari biasanya.

Paginya, Hilal sudah duduk di meja, sambil baca artikel dari ponselnya. 

“Gimana?” tanyanya tanpa menoleh.

“Gimana apanya?” sahut Diko datar.

Hilal menatapnya dengan senyum nakal. 

“Kamu nyobain kan?”

Diko berusaha menahan ekspresi, tapi wajahnya merah padam. 

“Ngaco! Aku cuma... eh, iya, coba dikit.”

“Dan?”

“Dan rasanya… ya, nyaman juga sih. Tapi jangan GR! Ini bukan karena kamu benar, tapi karena kipas angin kita baru aku bersihin kemarin!”

Hilal tertawa sampai batuk. 

“Terserah kamu, tapi aku udah rutin kayak gini enam bulan, dan hasilnya mantep. Tidur nyenyak, nggak gatal, nggak panas, dan katanya bisa mencegah disfungsi ereksi. Aku sih jaga-jaga aja buat masa depan.”

Diko melempar bantal. 

“Dasar makhluk aneh!”

Namun sejak malam itu, Diko diam-diam meniru kebiasaan Hilal. 

Kadang ia bahkan baca artikel kesehatan di ponselnya sebelum tidur, memastikan kebiasaan itu benar-benar punya dasar ilmiah. 

Ia menemukan istilah-istilah keren: ereksi nokturnal, corpore cavernosa, oksigenasi jaringan penis—semua terdengar rumit tapi menarik.

Setiap kali Hilal bangun pagi dengan wajah segar, Diko berpura-pura tak peduli, padahal dalam hati ia berterima kasih sudah diajak “eksperimen ilmiah” versi anak kos.

Beberapa minggu kemudian, di warung depan kos, mereka bertemu teman lama dari kampus.

“Eh, Diko, kamu sekarang kok kelihatan cerah banget?” ujar teman itu.

Diko melirik Hilal sekilas, lalu menjawab datar, “Rahasia tidur berkualitas.”

Hilal terkekeh pelan.

Di perjalanan pulang, Diko akhirnya berkata, 

“Tapi serius, bro, kalau tidur tanpa celana dalam tuh manfaatnya nyata ya? Bukan sugesti?”

Hilal menatap langit malam di atas atap kos yang berkarat. 

“Kesehatan tuh kadang nggak melulu soal obat, Dik. Kadang cukup dengan berani nyoba hal sederhana yang orang lain anggap aneh. Tubuh kita tahu sendiri mana yang nyaman.”

Diko mengangguk pelan.

Malam itu, mereka kembali ke kamar kos yang pengap tapi hangat oleh tawa. Dua pemuda, dua gaya hidup, satu pelajaran kecil tentang tubuh dan rasa ingin tahu.

Dan ketika lampu padam, Diko sudah tak lagi merasa canggung. Ia menarik selimut, tersenyum kecil, dan berbisik ke dirinya sendiri:

“Tidur sehat itu... ternyata sederhana.”

ANAK KOS