Bagaimanapun Dia Pernah Menggenjodku
Seratus kilometer terasa seperti seribu ketika kabar itu masuk ke ponselku: dia meninggal pagi ini.
Aku berdiri kaku di parkiran hotel, angin kota lain menampar wajahku tanpa ampun.
Dua tahun tanpa komunikasi, dua tahun mencoba membangun hidup baru, dua tahun meyakinkan diri bahwa masa lalu sudah selesai—nyatanya tetap ada pintu yang tak pernah benar-benar kututup.
Aku segera pulang. Di sepanjang perjalanan, jalan raya bergerak pelan seperti rekaman rusak.
Ada potongan kenangan yang ikut menumpang: tawa dia yang dulu memenuhi kamar kosku, pelukan hangatnya ketika hujan turun, dua tubuh yang pernah sama-sama telajang.
Penis keras yang pernah mengoyakku hingga tubuhku bergetar.
Lipatan ketiak yang menjadi canduku, dan jari-jarinya yang ahli memainkan putingku.
Hingga perdebatan terakhir kami saat putus.
Aku masih ingat betapa keras suaranya ketika bilang aku bukan siapa-siapa lagi.
Padahal aku cuma ingin dia hati-hati, menjaga diri, menjaga masa depan yang dulu kami rancang setengah main-setengah serius.
Beberapa bulan terakhir kabar tentangnya datang lewat jalan memutar.
Teman-teman bilang dia sakit. Badannya susut. Tulang pipinya menonjol. Sebagian bahkan bisik-bisik, katanya dia kena HIV.
Aku hanya bisa diam lama, menatap layar ponsel seperti menatap retakan kecil yang menyebar pelan.
Dia yang dulu kukenal kuat dan ceria, sekarang rapuh seperti kertas basah.
Aku pernah mengingatkan dia soal keselamatan, soal tidak sembarang bermain, soal risiko yang tak pandang muka—tapi dia menolakku, mungkin karena sakit hati, mungkin karena ego, mungkin karena dua-duanya.
Dia player, ngentot banyak boti tanpa pengama, saat ngewe denganku, dia mungkin terpaksa pakai kondom dan no oral.
Itu juga salah satu alasan kami putus karena dia kurang puas, namun bagiku, genjotannya lebih dari cukup.
Dia jago penetrasi, dan sisi itulah yang membuatku sulit move on.
Kadang pas lagi kesepian aku ingin digenjod dia lagi, tapi aku lebih memilih kesehatanku.
Kadang keinginan itu berkurang setelah aku coli dan crot, namun coli mulu juga bosan, kan?
-00-
Ketika mobilku berhenti di depan rumahnya, suasana sudah sepi. Hanya beberapa sandal tercecer dan pintu yang dibiarkan terbuka.
Seorang tetangga bilang jenazah baru saja dibawa ke pemakaman. Aku mengangguk, mengucap terima kasih lirih, lalu kembali masuk mobil. Entah kenapa lututku gemetar.
Di pemakaman, matahari menggantung tepat di atas ubun-ubun, panas seperti ingin menguji semua orang.
Aku berdiri agak jauh, memakai baju hitam dan kacamata gelap. Bukan untuk gaya—lebih untuk menyembunyikan sesuatu yang hampir tumpah.
Orang-orang berkumpul mengitari liang lahat. Doa mengalun. Tanah dilemparkan perlahan.
Aku hanya mengamati. Tidak ada yang perlu tahu aku mantannya.
Tidak ada yang perlu tahu betapa rumit sejarah kami.
Wajar kalau orang bilang waktu memudarkan segalanya, tapi anehnya, di detik itu justru semua terasa jelas: dia pernah menjadi seseorang yang sangat kusayang, tempatku pulang ketika hidup terasa penuh suara dan kekacauan.
Dia pernah menjadi hangat, menjadi dekat, menjadi bagian dari hidup yang sulit kuakui sudah hilang sejak lama.
Satu sekop terakhir mendarat, menimbun peti sepenuhnya. Udara seolah berhenti sebentar. Aku menarik napas panjang.
Ada rasa getir, tapi juga ada semacam ketenangan aneh, seperti akhirnya halaman terakhir benar-benar ditutup.
Selamat jalan, bisikku pelan.
Meskipun ceritamu berakhir pahit, aku tetap menyimpannya sebagai bagian kecil dari hidupku.
Dunia terus berputar, tapi beberapa nama memang ditakdirkan tinggal lebih lama di kepala.
