D³sahan Manja Bos Muda
Nuel Elastia
---
Tubuhnya bergoyang pelan di pangkuanku, posisi duduk yang intim, di mana aku memeluk pinggangnya erat sambil mendorong dari bawah.
Kontolku menyusup dalam-dalam ke lubangnya yang hangat, basah, dan menyambut.
Dia mendesah manja, suara lembut seperti bisikan angin malam, "Ahh... pelan saja..."
Tangannya membelai rambutku, jari-jarinya menyusuri kepalaku, lalu turun ke pipiku, mengusap lembut seolah aku adalah kekasih yang lama dirindukan.
Matanya setengah terpejam, bibirnya mengatup, dan setiap doronganku membuatnya menggelinjang, tubuhnya menegang lalu meleleh dalam pelukanku.
-00-
Beberapa jam sebelumnya, aku mengetuk pintu kamar hotel itu. Nomor kamar yang dia kirim lewat pesan singkat, tempat janjian kami.
Aku, seorang gigolo, terbiasa dengan klien macam apa saja. Tapi saat pintu terbuka, aku agak heran.
Dia bukan tipe yang biasa menyewa jasa seperti aku. Bos muda, tampan dengan wajah tegas, rahang kuat, dan senyum yang bisa melelehkan hati.
Badannya proporsional, berotot sedang, tak seatletis aku yang terlatih dari gym harian, tapi cukup untuk membuat siapa saja iri.
Dengan uangnya yang melimpah dan ketampanan itu, dia bisa mendapatkan cowok spek seperti aku tanpa harus bayar sepeser pun.
Kenapa dia memilih cara ini? Mungkin rahasia yang akan terungkap nanti.
Dia menyambutku dengan hangat, tapi ada rasa ragu di matanya.
Kami duduk sebentar di sofa, obrolan ringan tentang hari-hari biasa.
Aku mulai mengawali dengan sentuhan romantis, seperti yang selalu kulakukan untuk membuatnya nyaman.
Tanganku menyusuri lengannya, merasakan kulit halus di balik kemeja mahalnya.
Foreplay yang panjang, aku cium lehernya pelan, bibirku menelusuri dada yang terbuka saat kancing terlepas satu per satu.
Jari-jariku menjelajahi seluruh tubuhnya: bahu lebar, perut rata, paha yang tegang saat kusentuh bagian sensitifnya.
Dia menggeliat, napasnya memburu, tapi tetap manly—suara dalam, gerakan tegas yang menyembunyikan kerinduan.
Lalu kami berpindah ke ranjang. Aku memulai dengan cara biasa, misionaris, di mana aku di atas, memasukinya pelan sambil tatap matanya.
Tubuhnya menerima dengan lapar, pinggulnya ikut bergoyang menyambut setiap dorongan.
Kami ganti posisi, aku memangkunya dari belakang, doggy style yang membuatnya mengerang lebih keras.
Kontolku mengisi penuh, gesekan panas yang membuat keringat kami bercampur.
Akhirnya, ganti dia yang di atas, menduduki kontolku dengan penuh kendali.
Dia naik-turun, tangannya bertumpu di dadaku, wajahnya memerah karena nikmat.
Sangat manly, ya—dari luar, semua orang pasti mengiranya top, dominan, yang selalu memimpin.
Tapi di hadapan kontolku, dia berubah menjadi bottom manja, kesepian yang haus kasih sayang.
Desahannya lembut, memohon, "Lebih dalam... aku butuh kamu..." Seolah semua beban dunia dilepaskan di sini, dalam pelukan erotis kami.
Kami klimaks bersama, tubuhnya ambruk ke dadaku, napas tersengal.
Setelah membersihkan diri, kami duduk di balkon kamar hotel, angin malam sepoi menyapa kulit telanjang kami yang masih hangat.
Dia menyandarkan kepala di bahuku, rokok tipis di tangannya.
Cerita pun mengalir. Sejak remaja, dia sudah dituntut rajin belajar dan bekerja keras.
Tak ada waktu untuk bermain, untuk mencinta bebas. Teman-teman datang karena uang, tapi tak ada yang benar-benar mengerti kesepiannya.
"Aku punya segalanya, tapi merasa kosong," katanya pelan, suaranya lirih seperti lagu malam.
Aku hanya mendengar, membelai punggungnya, tahu bahwa malam ini, aku memberinya lebih dari sekadar tubuh—kasih sayang sementara yang dia rindukan.
Saat kembali ke ranjang, posisi duduk itu lagi yang kami pilih. Dia di pangkuanku, mendesah manja, membelai kepala dan pipiku.
Malam itu, kami bukan lagi klien dan gigolo. Hanya dua jiwa yang saling mengisi kekosongan satu sama lain.
