Genjod Aja Suamiku, Aku Tau Dia Boti
Yofan Blog
---
Malam itu, aku benar-benar tenggelam dalam kenikmatan yang diberikan Han.
Tubuhnya yang tegap menindihku, pinggulnya bergerak ritmis, menggenjotku dengan kekuatan yang membuat ranjang berderit pelan.
Penisnya yang keras dan panas, terbungkus kondom tipis, menyelinap masuk-ke dalam dengan sempurna, menyentuh titik-titik sensitifku yang membuatku mengerang tak terkendali.
"Ahh... Han... lebih dalam lagi," desahku, tanganku mencengkeram punggungnya yang berkeringat.
Kangennya aku padanya begitu membara setelah berbulan-bulan terpisah, sampai-sampai aku lupa mengunci pintu kamar kamar ini.
Tiba-tiba, pintu terbuka pelan. Aku membuka mata, dan jantungku hampir berhenti.
Di ambang pintu berdiri istriku, Rina, dengan tas tangan di bahu dan ekspresi datar.
Matanya langsung tertuju pada kami—aku yang telanjang bulat di bawah Han, kakiku masih melingkar di pinggangnya.
Kami bertiga membeku. Han berhenti menggerakkan pinggulnya, tapi penisnya masih tertanam dalam-dalam di lubangku, membuatku merasakan denyutannya yang tak mau reda.
Aku panik, mencoba menutupi tubuh, tapi Rina malah melangkah masuk dan menutup pintu dari dalam, menguncinya dengan klik lembut.
"Genjot aja dia," katanya tenang, suaranya datar seperti sedang membahas cuaca.
Dia meletakkan tasnya di kursi, lalu duduk di sofa kecil di sudut kamar, menyilangkan kaki. "Tak perlu sungkan."
Han menatapku ragu, napasnya tersengal. Perlahan, dia mencabut penisnya yang masih tegang dan basah oleh cairanku.
Kondom itu mengkilap di bawah lampu kamar, ujungnya penuh bukti kenikmatanku tadi.
Rina tertawa kecil, suara yang dingin tapi anehnya menggoda.
"Kenapa dicabut? Tusuk lagi. Entot dia sepuasnya. Aku juga tak akan marah. Aku tahu kok, dia boti."
Aku menatap Rina, terkejut tapi juga lega. Han ragu sejenak, tapi matanya kembali padaku, penuh hasrat.
Dia tersenyum tipis, lalu mendorong kembali penisnya ke dalamku—kali ini lebih dalam, lebih kasar.
Aku mengerang keras, tubuhku menyambutnya dengan rakus.
"Ya... seperti itu, Han..."
Rina menyaksikan semuanya tanpa berkedip. Matanya menyipit, tapi bukan marah—ada kilau aneh di sana, seperti dia menikmati pertunjukan ini.
Pernikahan kami memang hanya formalitas. Dua keluarga besar yang menggabungkan bisnis properti dan perdagangan, kami dipaksa menikah untuk aliansi itu.
Di depan publik, kami pasangan sempurna: senyum di pesta, foto keluarga di media sosial. Tapi di baliknya, asmara kami hanyalah hiasan kosong.
Rina punya kekasihnya sendiri, pria yang dia sembunyikan dengan rapi. Aku punya Han, satu-satunya yang bisa membuat tubuhku bergetar seperti ini.
Han semakin liar sekarang, menggenjotku dengan ritme ganas, tangannya memelintir putingku, bibirnya mengisap leherku.
Aku melirik Rina—dia masih duduk di sana, tangannya perlahan menyentuh pahanya sendiri, seperti terpengaruh oleh adegan ini.
"Lanjutkan," bisiknya lagi, suaranya kini lebih berat. "Buat dia puas."
Aku tak peduli lagi. Gelombang kenikmatan kembali membanjiriku, tubuhku mengejang saat orgasme mendekat.
Han mengerang di telingaku, gerakannya semakin cepat. Di hadapan istriku yang acuh, aku menyerah sepenuhnya pada hasrat terlarang ini—rahasia yang ternyata tak lagi rahasia.
Malam itu, kamar kami menjadi saksi bisu dari pernikahan palsu kami, di mana bisnis lebih penting daripada cinta, dan kenikmatan sejati ditemukan di tempat lain.