Pengen Lagi Digenjod Randy
Hampir 30 menit kami melepas hasrat di atas ranjang kamarku, tubuh Randy yang maskulin berkilau oleh keringat.
Otot lengannya kokoh, perutnya rata mempesona, kontolnya keras dan kuat, menggenjotku tanpa ampun.
Aku mendesah pasrah, sambil memegangi tubuhnya yang berotot, menyenangkan sekali.
-00-
Sekitar dua bulan lalu, aku dan Randy bertemu lewat sebuah aplikasi kencan.
Percakapan kami waktu itu terasa hangat, seperti api kecil yang menjilat pelan di musim hujan.
Tidak membara, tapi cukup membuatku nyaman. Setelah beberapa hari saling bertukar cerita, kami memutuskan bertemu.
Pertemuan pertama itu di kamar kosku, kami bersenggama layaknya suami istri, dan aku lah botinya.
Pertemuan dibuka oleh hasrat yang hingga sekarang mengunci perasaanku. Aku ingin digenjot dia lagi.
Setelah pertemuan itu… semuanya berubah. Randy tiba-tiba pasif. Chat-nya menjadi pendek, dingin, kadang hanya centang biru tanpa balasan.
Aku yang akhirnya sesekali mengomentari story WhatsApp-nya, berharap dia menyambung percakapan.
Tapi jawabannya selalu ringan, singkat, seperti hanya menjaga sopan santun. Aku mulai merasa seperti berbicara dengan dinding.
Sampai suatu sore, aku bertemu dia secara tak sengaja di sebuah kedai kecil dekat kantor.
Dia sedang berdiri memesan minuman, mengenakan hoodie abu-abu dan wajah yang sama tenangnya saat pertama kali kami bertemu.
Aku sempat ragu menghampiri. Tapi ada sesuatu dalam diriku yang ingin menutup bab yang menggantung.
“Hai, Randy,” kataku pelan.
Dia menoleh, sedikit terkejut. “Hey. Lama ya.”
Kami duduk di meja dekat jendela. Senyap menggantung seperti kabut dingin. Aku menatapnya, mencoba membaca matanya lagi, tapi kali ini hanya ada jarak.
“Boleh aku tanya sesuatu?” suaraku hampir bergetar.
“Boleh.”
“Kenapa sekarang kamu pasif? Aku… cuma pengen tau.”
Dia terdiam cukup lama. Menatap gelasnya, mengaduk minumannya meski gula sudah larut.
“Mungkin,” katanya akhirnya, lirih, “aku cuma gak yakin.”
“Gak yakin tentang apa? Tentang aku?” tanyaku, meski rasanya seperti menusuk diri sendiri.
Dia mengangguk pelan. “Aku takut kamu berharap banyak. Aku gak mau nyakitin siapa pun.”
Aku tersenyum tipis, mencoba menahan dada yang terasa menciut.
“Mungkin aku memang gak sesuai ekspektasimu, ya?”
Dia tak menjawab. Diamnya sudah cukup jadi jawaban.
“Atau mungkin aku gak menarik,” kataku, setengah bercanda, meski suaraku retak.
Randy menatapku, kali ini dengan raut bersalah.
“Bukan begitu. Kamu baik. Serius. Tapi aku belum siap.”
Aku meneguk napasku perlahan. Aku sudah menduga, tapi mendengar langsung seperti ditampar kenyataan yang dingin.
“Aku bisa terima,” kataku akhirnya. “Meski aku terlanjur tertarik sama kamu.”
Ada jeda panjang. Musik kedai terdengar terlalu keras.
“Terima kasih,” katanya pelan.
Aku tersenyum, berdiri, merapikan jaket. “Semoga kamu menemukan apa yang kamu cari, Ran.”
Dia hanya mengangguk, dan aku melangkah pergi. Di luar, angin sore menerpa wajahku, dingin seperti kata-kata yang tak pernah terucap.
Aku menatap langit yang mulai gelap. Perasaan ini pahit, tapi ada juga kelegaan aneh di dadaku. Setidaknya aku tahu jawabannya. Tidak semua pertemuan harus berakhir bersama. Kadang, mereka hanya mengajari kita cara merelakan.
Dan aku memilih berjalan pulang, tanpa menoleh lagi. Rambutku berantakan diterpa angin, namun langkahku ringan.
Beberapa kisah memang harus selesai sebelum sempat dimulai.
Mungkin Randy sudah menemukan boti lain, atau dia memang tak ingin bertahan pada satu boti saja?
Dunia pelangi memang sekejam ini
