Liburan kuliah kali ini, aku memutuskan untuk pulang kampung. Sudah lama aku tak menginjakkan kaki di desa nenek. Dari lahir hingga kelas 5 SD, aku tinggal di sana, sebelum ayah pindah tugas dan kami sekeluarga ikut.
Aku melepas rindu pada kakek dan nenek yang masih sehat di usia memasuki kepala tujuh. Kakek masih rajin bercocok tanam di kebun, sedangkan nenek masih cekatan mengurus rumah dan memasak makanan kesukaanku.
"Bhanu di rumah lho, sahabatmu dulu," ujar nenek, sambil menunjuk ke arah sebuah rumah di ujung desa.
Aku terkejut. Bhanu! Teman mainku dulu. Dia sangat baik, dan selalu membelaku kalau sedang diganggu kakak kelas. Ketika pindah, aku merasa kehilangan seorang teman baik.
Lalu kudengar Bhanu bekerja ke Korea setelah lulus SMA. Terakhir kali aku ketemu Bhanu saat masih kelas 3 SMP, artinya hampir 9 tahun aku tak bertemu dia. Apa kabar ya?
Aku langsung berlari menuju rumah Bhanu. Hatiku berdebar kencang, campur aduk antara rasa penasaran dan rindu.
"Bhanu!" panggilku, suaraku sedikit gemetar.
Seorang pemuda berwajah familiar menoleh.
"Indra?" tanyanya, suaranya sedikit ragu.
Bhanu langsung tersenyum lebar. Kami berpelukan, rasa bahagia dan haru bercampur menjadi satu.
"Kamu nggak pernah hubungi aku," kataku, sedikit kecewa.
"Aku sempat mencari kamu di media sosial, tapi nggak ketemu. Terus aku fokus kerja di Korea. Sekarang aku lagi pulang kampung ngurus orang tua."
"Oh, begitu. Aku seneng bisa ketemu kamu lagi."
Kami duduk di teras rumah Bhanu, ngobrol banyak hal. Bhanu menceritakan pengalamannya bekerja di Korea, sedangkan aku menceritakan kehidupan ku di kota.
"Kerja di Korea gimana, Bhanu?" tanyaku, penasaran.
"Lumayan sih, Cukup menantang, tapi aku seneng bisa menabung buat keluarga."
"Kapan kamu balik lagi ke Korea?"
"Bulan depan."
-00-
Bhanu terlihat berbeda. Lebih terawat, badannya atletis. Bekerja di Korea membuat penampilannya lebih menawan. Aku terkejut melihat perubahan Bhanu.
"Yuk, kita ke sungai," ajak Bhanu.
Aku menangguk setuju. Kami berjalan menuju sungai dekat rumah dulu, tempat kami dulu bermain saat kecil.
Kami duduk di tepi sungai, menikmati sejuknya angin sore. Bhanu menyibak kaosnya, dan terlihat lekuk perut menawan kotak-kotak.
"Wah, Bhanu. Kamu sekarang bikin cewek-cewek klepek-klepek nih," kataku, sambil tertawa.
Bhanu tertawa malu.
"Ah, nggak lah. Aku cuma rajin olahraga di Korea."
Aku menatap Bhanu dengan tatapan yang penuh dengan kekaguman. Aku merasa senang melihat Bhanu berubah menjadi pria yang lebih dewasa dan menarik.
"Kamu masih ingat waktu kita main di sungai ini?" tanya Bhanu.
"Tentu saja aku ingat. Kita sering main air, mancing, dan ngobrol sampai malam."
"Dulu aku sering bikin kamu ketawa sampai nangis," kata Bhanu, sambil tersenyum.
"Iya, kamu emang lucu. Aku seneng bisa ketemu kamu lagi, Bhanu."
Kami terus ngobrol sampai matahari mulai terbenam. Aku merasa bahagia bisa bertemu Bhanu lagi.
Aku ingin menikmati momen ini selama mungkin.
-00-
"Bhanu, kamu kok baik banget sama aku dulu?" tanyaku, sambil menatap wajah Bhanu yang terlihat rileks di bawah cahaya lampu remang-remang.
Aroma kemenyan cendana samar-samar tercium, aroma yang familiar dan membawa aku kembali ke masa kecil.
"Kenapa sih nanya itu?" jawab Bhanu, sambil tersenyum. Dia bersandar ke sandaran kepala, sudut matanya berkerut saat tersenyum.
"Aku cuma penasaran. Kamu selalu membelaku kalau lagi diganggu kakak kelas. Ingatan itu sangat membekas kuat di benakku."
Bhanu terdiam sejenak, seolah merenung kenangan lama.
"Kamu kayak saudara aku, Indra. Sebagai anak tunggal, aku baru memahami arti saudara ketika mengenal kamu dan sering bermain sama kamu. Saat kecil, aku merasa kesepian di rumah. Orang tua aku sibuk bekerja, jadi aku sering main sendiri. Terus ketika kamu pindah, aku merasa kehilangan seseorang yang selalu ada buat aku."
Aku terkejut mendengar pengakuan Bhanu. Aku tidak pernah menyangka kalau Bhanu merasa kesepian saat kecil. Aku selalu menganggap Bhanu sebagai anak yang ceria dan penuh teman.
"Maaf, aku nggak tahu," kataku, sedikit bersalah.
"Nggak apa-apa, Indra. Aku seneng bisa ketemu kamu lagi. Sekarang aku udah nggak kesepian lagi. Aku punya teman-teman di Korea, dan aku juga sering ngobrol sama orang tua aku."
"Aku seneng dengernya, Bhanu. Semoga kamu selalu bahagia."
Aku menceritakan tentang kuliahku, tentang cita-citaku untuk membuka usaha kuliner, dan bagaimana aku merasa sedikit kehilangan arah dengan jalan karirku.
Bhanu mendengarkan dengan sabar, menawarkan nasihat yang bijak.
"Kamu harus memilih yang terbaik buat kamu, Indra," kata Bhanu.
"Aku tahu, Bhanu. Aku lagi bingung banget. Tapi, aku akan mencari jalan keluarnya."
"Aku percaya kamu bisa, Indra. Kamu orang kuat."
Aku tersenyum sedikit. Bhanu selalu punya cara untuk membuatku merasa lebih baik.
"Makasih, Bhanu."
"Sama-sama, Indra. Aku seneng bisa ketemu kamu lagi."
Kami terus ngobrol sampai larut malam. Aku merasa nyaman dan bahagia bersama Bhanu. Keheningan desa terasa menyenangkan, berbeda dengan hiruk pikuk kota.
"Indra," Bhanu berkata, suaranya sedikit lebih pelan sekarang.
"Kamu tahu, aku sering mikirin kamu selama di Korea. Aku kangen main bareng kamu di sungai itu."
"Aku juga, Bhanu. Aku kangen ngobrol sama kamu sampai malam."
Kami berdua terdiam, masing-masing larut dalam kenangan. Bulan bersinar terang melalui jendela, menyorot wajah Bhanu dengan lembut.
"Indra," Bhanu berkata lagi,
"Kamu tahu nggak, aku pernah ngebayangin kita bakal buka warung bareng di desa ini. Kamu masak, aku jajanin orang-orang di desa."
Aku tertawa, perasaan hangat menyebar di dalam diriku.
"Itu ide yang lucu, Bhanu. Mungkin nanti kita bisa wujudkan ide itu."
"Iya, nanti kita wujudkan. Tapi sekarang, aku harus balik ke Korea dulu. Kerja aku nanti bakal sibuk lagi."
"Iya, Bhanu. Aku ngerti. Semoga kamu selalu berhasil di sana."
"Makasih, Indra. Kamu juga jangan lupa mimpi kamu. Aku percaya kamu bisa wujudkan semua itu."
Kantuk menyergapku, tak tertahan. Suara Bhanu perlahan terdengar samar, sampai kurasakan ada sesuatu menempel bibirku pelan.
Aku terkejut dan merangsek dari ranjang. Apa barusan Bhanu menciumku?
"Hussh... udah malem, jangan berisik, lanjut tidur, kayaknya kamu ngantuk banget."
Kami pun memanjangkan selimut dan mengistirahatkan badan.
0 Komentar