Aku masih tak percaya jika malam itu Pras mengulum penisku dan memainkannya seperti lolipop.
Aku menikmati, sambil mendesah ringan karena permainan jari dan lidahnya.
Namun ada perasaan bersalah kenapa aku membiarkan hal ini terjadi.
Kamar Tengah
Namaku Dafi. Usia dua puluh tahun. Tiga bulan lalu, ibu memperkenalkanku pada pria yang kini menjadi suaminya—ayah tiriku.
Aku menyimpan rasa getir dalam dada, sebab belum benar-benar selesai meratapi kepergian ayah kandungku dua tahun silam.
Tapi, aku tahu ibu kesepian, dan aku tak berhak memenjarakannya dalam duka yang kupelihara.
“Ini Pras, anak Om Hendra. Mulai sekarang dia jadi kakakmu,” kata ibu saat pertama kali mengenalkannya padaku.
Pras tersenyum. Kulitnya putih bersih, seperti anak yang tak pernah tersentuh matahari. Wajahnya simetris, dagu runcing, dan rambutnya terpotong rapi.
Usianya dua puluh empat tahun, empat tahun lebih tua dariku. Dia mengulurkan tangan lebih dulu.
“Gue Pras.”
Aku menyambut uluran itu. “Dafi.”
Sejak itu, kami serumah. Rumah kecil tiga kamar, satu ruang tamu, satu dapur. Pras menempati kamar sebelahku.
Dinding di antara kamar kami tipis. Setiap malam, aku bisa mendengar desahan nafasnya. Atau dengkuran kecilnya jika dia tidur telentang.
Kami tak langsung akrab. Aku sibuk dengan kuliah dan kerja paruh waktu, Pras baru pindah dari Bandung dan sedang mencari kerja.
Tapi kami sering berpapasan di dapur, kadang nonton film bareng ibu, atau saling tukar charger di meja makan.
Semua mulai berubah ketika aku menemukan profilnya di sebuah aplikasi.
Aplikasi itu berlogo pelangi. Tempat banyak laki-laki seperti aku mencari teman, pasangan, kadang pelarian.
Nama penggunanya bukan Pras, tapi aku tahu itu dia. Foto wajahnya di-crop setengah, tapi jelas itu lesung pipinya, dan tato kecil di pangkal leher yang tak pernah dia sembunyikan.
Aku ragu, tapi penasaran. Aku swipe kanan. Sekadar coba. Tak sampai semenit, notifikasi muncul.
It’s a match.
Kami saling diam. Di rumah kami bertukar tatap seperti biasa. Tapi di aplikasi, kami berbincang dengan nama samaran.
Dia memperkenalkan diri sebagai vers, dan aku bilang aku vers top. Kami bicara tentang musik, kota tempat tinggal dulu, dan tentang bagaimana sulitnya jadi diri sendiri di rumah.
Hingga pada suatu malam, listrik mati. Rumah gelap total. Ibu sedang menginap di rumah nenek. Aku sedang membaca di kamarku ketika Pras mengetuk pintu.
“Lu punya lilin, Dafi?”
“Enggak. Masuk aja, sini terang pakai lampu HP.”
Dia masuk, duduk di pinggir kasurku. Kami mengobrol, lama. Semula tentang listrik, lalu tentang masa kecil, tentang mantan, tentang rahasia yang tak pernah kami bagi ke orang lain.
Tak ada yang terjadi malam itu, kecuali satu hal: dia tertidur di kamarku. Dan aku membiarkannya.
Esoknya, kami kembali jadi saudara tiri seperti biasa. Tapi ada yang berubah. Cara dia menatapku, caraku merespons. Seolah kami tengah memainkan sandiwara dengan dua naskah berbeda.
Minggu-minggu berikutnya, kami makin dekat. Kadang dia tertidur di kamarku. Kadang aku yang mengetuk kamarnya saat malam terlalu sepi.
Kami tak bicara banyak soal arah hubungan ini. Tapi kami tahu, ini bukan sekadar saudara tiri yang mulai akrab.
Aku mencoba menahan jarak. Tapi Pras bukan orang yang bisa diabaikan begitu saja. Dia lembut. Dia penuh perhatian. Dia tahu kapan aku butuh ruang, dan kapan aku butuh pelukan.
Dan aku... aku rapuh. Dalam diam, aku menyesali betapa nyamannya aku di dekatnya.
Pada suatu malam hujan, saat ibu kembali menginap di luar kota, aku masuk ke kamarnya tanpa bicara. Dia sudah tahu.
Tak ada pertanyaan. Kami hanya saling diam di bawah selimut yang sama. Tidak ada yang vulgar. Hanya dua orang laki-laki yang berusaha saling memahami, saling melengkapi lubang yang mereka bawa dari masa lalu.
Esoknya kami tak bicara soal malam itu. Tapi pagi terasa lebih sunyi.
Hubungan kami tak pernah diberi nama. Kami tahu ini salah. Tapi kami juga tahu, tak ada definisi yang cukup luas untuk menjelaskan kenapa dua manusia bisa saling membutuhkan dengan cara seperti ini.
Suatu malam, Pras berkata, “Gue kadang berharap kita ketemu di tempat lain. Di waktu lain. Sebelum semua ini jadi serumit sekarang.”
Aku tak menjawab. Hanya mengangguk, memejamkan mata, dan berharap besok pagi kami bisa bangun sebagai dua orang asing yang saling melupakan.
Tapi itu tak pernah terjadi.
Aku tetap Dafi. Dia tetap Pras. Saudara tiri. Dua pria yang menyimpan rahasia dalam kamar tengah.
0 Komentar