Aku Ikut Senang Istrimu Hamil
Masih lekat di ingatan saat penisku menusuk lubang anusnya, perlahan dan dia menjeit erat.
"Mungkin ini yang terakhir, aku ingin menikmatinya," bisiknya.
Aku gesekkan penisku perlahan sambil tanganku memelintir putingnya, dia sangat menyukai ini.
Ujung penisnya bisa basah dan ada muncratan kecil tiap kali genjotanku berhasil mengoyak sisi sensitifnya.
-00-
Kami duduk berhadapan di warung kopi kecil dekat perempatan.
Warungnya sederhana, kipas angin berdecit tiap berputar, dan aroma kopi hitam bercampur asap rokok para bapak yang sibuk mengulas politik seolah mereka pengatur planet.
Di pojokan itu, kami membuat ruang kami sendiri—ruang tanpa label.
Dia datang dengan kemeja cokelat, rambut disisir rapi, dan senyum canggung yang dulu kupahami sebagai kode rahasia.
Sekarang berbeda. Tak ada lagi tatapan yang menyiratkan apa pun selain pertemanan.
Sejak dia menikah, kami memang sepakat melepas apa yang dulu pernah ada.
Hubungan khusus itu, yang dulu seperti percikan listrik tiap kulit bersentuhan, kami matikan sebelum membakar rumah siapa pun.
“Kamu makin kurus,” katanya sambil meneguk kopi panas tanpa meniupnya dulu. Seolah langit-langit mulutnya dari baja.
“Atau kamu yang makin gede,” balasku. Dia tertawa, mengayun-ayunkan sendok seperti memarahi gula yang tak mau larut.
Obrolan kami melayang ringan, sesekali diselingi diam yang bukan canggung, tapi nyaman.
Diam yang hanya dimiliki dua orang yang pernah terlalu mengenal satu sama lain, lalu memilih mundur tanpa pecah perang.
Lalu, kalimat itu meluncur begitu saja. “Istriku hamil.”
Aku terpaku beberapa detik. Kopiku mendadak terasa hambar. Tidak ada rasa sakit, tidak juga iri.
Hanya aneh… semacam sensasi melihat orang yang dulu kukenal dalam satu bentuk, mendadak berubah menjadi sesuatu yang lain. Evolusi yang tak pernah kubayangkan.
“Serius?” tanyaku memastikan, meski jelas dia tidak sedang bercanda.
Dia mengangguk, matanya berbinar—binarnya laki-laki yang baru menemukan babak baru hidupnya.
“Tiga bulan. Lewat USG sudah kelihatan. Aku masih bingung, masih takut juga… tapi senang sekali.”
Aku ikut tersenyum. Keajaiban paling absurd dalam hidup adalah melihat seseorang tumbuh di luar ekspektasi.
Dulu, dia botiku—sebutan yang kami gunakan dengan santai, tanpa beban.
Dia yang dulu bersandar di bahuku saat dunia terlalu berat.
Dia yang dulu kupeluk dalam gelap, diam-diam berharap waktu berhenti.
Saat dia memutuskan menikah dengan seorang perempuan baik yang menghargainya, aku ikut mengemas perasaan sendiri, menyimpannya rapat seperti foto lama yang tidak perlu dibakar, cukup disimpan di laci terdalam agar tidak mengganggu.
Dan sekarang dia duduk di depanku, laki-laki yang akan menjadi ayah.
“Aku bangga padamu,” kataku pelan.
Tidak dramatis, tidak bergetar. Hanya jujur. “Kamu membuktikan bahwa hidup bisa berubah arah tanpa harus jadi orang lain.”
Dia menunduk sebentar, mengusap hidung, pura-pura gatal agar tidak terlihat sentimental.
“Terima kasih. Kalau bukan karena kamu dan semua proses waktu itu… mungkin aku tidak akan sampai di sini.”
Aku menatapnya lama.
“Kita baik-baik saja, kan?”
“Lebih dari baik,” jawabnya.
Kami meneguk kopi bersama, seperti dua manusia biasa. Tanpa sejarah yang membebani, tanpa masa depan yang harus diperebutkan.
Yang tersisa hanya rasa bangga bahwa kami pernah menjadi bagian penting satu sama lain.
Saat dia pamit pulang, aku melihat punggungnya menjauh. Tidak ada lagi yang perlu kusimpan atau kupertahankan.
Beberapa cerita memang harus selesai, agar hidup bisa mulai menulis bab berikutnya.
