Adik Temanku yang Minta Digenjod
Sore itu aku mampir ke rumah Adera.
Seragamku basah oleh hujan. Air menetes dari ujung celana, membentuk genangan kecil di lantai teras.
Adera sedang mandi. Yang menyambut justru adiknya.
Namanya Ndaru. Ia duduk di depan televisi, menggenggam remote seperti memegang rahasia kecil.
Matanya sebentar menatapku, radar seme ku langsung menangkap kalau dia seorang uke.
Aku minta izin numpang ganti baju.
Adera belum keluar dari kamar mandi, jadi Ndaru yang menawari kaos.
“Pakai punyaku aja,” katanya.
Aku kira ia bercanda, tapi ia sudah berdiri, mengambil kaos dari lemari dan menyerahkannya padaku.
Aku menerimanya. Kubuka bajuku bertelanjang dada di depannya, dia tersenyum sambil menatapku tanpa beringsut.
Pas di badan. Lebih pas daripada kaos Adera yang kebesaran itu.
Ada jeda hening di antara kami.
Televisi menayangkan acara musik yang riuh, tapi suasana di ruang itu malah seperti diam.
"Celanamu ganti sekalian, kan basah," tawarnya sambil menyodorkan celana pendek dan sempaknya.
Aku melongo, meski tak bisa menolak jika harus sekalian telanjang bulat di depannya dan meminjam sempak katunny.
-00-
Malamnya, dia mengirim pesan.
“Masih basah gak sepatunya?”
Obrolan yang entah bagaimana terus bersambung. Tentang sekolah, film, hujan.
Tentang hal-hal yang tidak penting, tapi terasa perlu.
Lalu satu malam, ia menulis begini:
“Kadang aku capek di rumah. Orang-orang dekat, tapi jauh.”
Aku tidak tahu harus membalas apa. Aku mengenal kalimat itu. Aku pernah menulisnya di kepalaku sendiri.
Beberapa hari kemudian, ia bilang ingin bertemu. Katanya cuma mau cerita.
Aku datang dengan perasaan campur aduk: penasaran, tapi juga waspada.
Kami duduk di kursi taman depan rumah. Ia bercerita panjang lebar — tentang sepi yang aneh, tentang peran yang harus dimainkan di rumah sendiri.
Aku hanya mendengarkan.
Lalu ia menatapku dengan wajah yang sulit dijelaskan.
“genjod aku kak, pengen rasanya disayangi,” katanya.
Aku terperanjat. Dia manis, bersih dan arghh... tapi dia adiknya sahabatku sendiri. Apa aku setaga itu?
Dia merapat, aku memeluknya.
"Btw, badanmu kemaren bagus ya." Godanya.
Setelah itu, pesan-pesan darinya mulai jarang.
Kadang cuma satu dua kata: hai, atau lagi di mana?
Lama-lama hilang sama sekali.
Aku juga tidak berusaha mencari.
Setiap kali ke rumah Adera, aku lihat sepasang sandal di depan pintu, dan aku tahu Ndaru di dalam. Tapi kami tidak pernah berbicara lagi.
Kadang aku teringat hari itu — hari saat hujan membuatku mampir ke rumahnya.
Dan aku berpikir, mungkin memang begitu cara hidup bekerja:
kita datang, menghangat sejenak, lalu pergi tanpa sempat tahu apa yang sebenarnya sedang diselamatkan.
Atau dia marah karena aku menolak permintaannya untuk menyetubuhi keperjakaannya?

