Ng⁰c⁰k Setelah Ngegym
Sudah dua tahun aku kerja di Cimahi. Rutinitasku lumayan sederhana: kerja, ngegym, makan seadanya, lalu pulang ke kamar kos yang sempit tapi cukup untuk rebahan panjang.
Tapi ada satu kebiasaan kecil yang mungkin orang lain bakal anggap aneh—onani setelah gym.
Setiap kali libur kerja—entah Rabu, kadang Kamis—aku berangkat pagi ke gym langganan di jalan Sukar***.
Wangi besi, suara beban jatuh, dan keringat orang-orang bercampur dalam udara yang agak pengap tapi memompa semangat.
Tubuhku mulai terbentuk; bahu lebih lebar, dada mulai keras, dan urat di lengan menonjol. Aku tahu semua kerja keras itu tak sia-sia.
Tapi bagian paling aneh justru datang setelahnya. Selesai angkat beban, ketika tubuh masih panas dan napas belum teratur, ada rasa menggelora di dalam tubuhku.
Sange maksimal.
Libido naik seperti gelombang. Aku biasanya masuk ruang ganti, duduk sebentar sambil menunggu keringat kering, tapi pikiranku malah mengembara ke hal-hal sensual.
Entah kenapa, saat itu tubuhku terasa paling hidup—otot tegang, jantung berdetak kencang, dan dorongan seksual meningkat tajam.
Dari sisi logika, aku tahu alasannya. Aku pernah baca: setelah latihan berat, testosteron dan endorfin naik.
Hormon testosteron bikin gairah memuncak, sementara endorfin bikin perasaan melayang dan nyaman.
Kombinasi yang berbahaya sekaligus menyenangkan. Jadi, onani buatku bukan cuma pelampiasan, tapi juga ritual menenangkan diri.
Aku mengambil monogatari, melumasi kontolku yang udah ngaceng maksimal.
Kuurut perlahan, mengocoknya pun pelan-pelan, sambil menikmati.
Kupelintir putingku, bergantian kiri kanan, arghhh... Bau tubuh, keringat dan kontraksi otot adalah perpaduan maksimal.
Sampai akhirnya croottt....croottt...croottt...
Rasanya seperti membuang sisa tekanan dari tubuh. Setelahnya, ada rasa damai yang aneh.
Napas jadi lebih ringan, kepala tenang, dan otot terasa mengendur sempurna.
Kadang aku tertawa kecil sendiri—betapa absurdnya manusia: sekuat apa pun tubuh dilatih, ujungnya tetap mencari cara sederhana untuk merasa tenang.
Aku nggak melakukannya setiap hari, tentu saja. Dua kali seminggu saja, sesuai jadwal gym-ku: satu kali di pagi hari pas libur, satu lagi Sabtu malam sepulang kerja.
Ritme yang pas. Aku pikir, tubuh juga perlu keseimbangan.
Sperma yang menumpuk terlalu lama malah bikin kepala berat dan konsentrasi buyar.
Dengan begini, aku tetap fokus kerja dan nggak gampang stres.
Kadang aku berpikir, mungkin ini bentuk rekreasiku yang paling jujur.
Orang lain nongkrong, main game, atau mabuk. Aku? Ya, aku menenangkan diri dengan cara yang lebih sunyi.
Tak ada yang perlu dibanggakan, tapi juga tak ada yang perlu disesali.
Malam-malam di Cimahi kadang dingin dan sepi. Setelah gym, aku berjalan pulang sambil menatap lampu jalan yang berpendar redup.
Di balik semua aktivitas itu, aku hanya manusia biasa yang berusaha menjaga keseimbangan antara tenaga dan pikiran, antara kerja keras dan kenikmatan kecil yang jujur.
Mungkin orang lain tak akan paham, tapi aku tahu: selama dua tahun ini, kebiasaan kecil itu justru membuatku bertahan di tengah rutinitas yang menjemukan.

