Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.
KILAS RASA
memuat
Memuat konten...

Aku Juga Mau Jadi Botimu


Ruyi sangat tampan dan muscle, siapa yang tak tertarik? Tuhan sepertinya sedang bercanda ketika menciptakan wajah setampan itu, lalu menempelkannya pada tubuh yang seperti pahatan marmer. 

Bahunya lebar, dadanya keras, lengannya penuh urat—tipe yang bikin imajinasi liar menari tanpa diundang. 

Di gym, orang-orang berhenti mengangkat barbel hanya untuk sekadar melihat bagaimana dia mengatur nafas. Bahkan suara napasnya saja bisa membuat orang kehilangan konsentrasi.

Dan aku? Aku hanya salah satu manusia biasa yang terjebak di orbitnya.

Aku juga mau jadi pacarnya—meskipun hanya pacar singkat. Ide itu bodoh, aku tahu. 

Tapi sayangnya, cinta dan kebodohan punya garis yang samar. Banyak yang bilang aku terlalu cepat menyerah pada fantasi, tapi ada sesuatu pada Ruyi yang terasa seperti magnet di bawah kulitku. 

Menarik, mencengkeram, dan memaksa aku mendekat.

Ruyi dikenal sebagai player. Catatan reputasinya lebih panjang dari daftar belanja supermarket. 

Nama-nama korban yang ia tinggalkan berserakan seperti jejak kaki di pasir yang terguyur ombak. 

Mereka bilang dia tidak pernah bertahan dengan satu orang lebih dari dua minggu. Aku tahu semua itu, dan anehnya… aku tidak peduli.

Aku bahkan mau jadi salah satu korbannya. Kedengarannya konyol, bahkan tragis. 

Namun, ada bagian dari diriku yang ingin tahu rasanya dipilih oleh seseorang yang diinginkan semua orang. 

Apa rasanya disentuh oleh pria yang jadi fantasi kolektif? Memegang dadanya, meremas lengannya berototnya, mengulum kontolnya dan membaui cairan pejuh yang muncrat ke muka.

Apa rasanya dicintai—meski hanya sementara—oleh seseorang yang tidak pernah benar-benar mencintai balik?

Entah kenapa aku bisa suka banget sama dia sampai rela menyerahkan harga diriku.

Pertemuan pertama kami terjadi di gym. Aku pura-pura butuh bantuan padahal dumbbell 20 kilo itu sebenarnya masih sanggup kutahan. 

Ruyi menghampiriku, senyumnya menampar kesadaranku seperti kipas besi yang berputar terlalu dekat.

“Butuh spotter?” suaranya berat, rendah, dan tajam seperti pisau yang baru diasah.

Aku mengangguk, sok tenang, padahal lutut sudah hampir goyah.

Sejak hari itu, kami mulai sering berinteraksi. Awalnya hanya saling menyapa, lalu berubah menjadi ngobrol saat cooling down, lalu pelan-pelan merembet ke chat larut malam. 

Ruyi bicara dengan cara yang hangat namun berjarak. Seolah dia memegang tali layang-layang, menarik dan melepas secukupnya agar aku tidak lari tapi juga tidak pernah benar-benar sampai.

Hingga suatu malam, dia mengundangku ke apartemennya.

Detak jantungku memukul tulang rusuk seperti drum konser rock. Aku tahu apa yang akan terjadi. Itu bukan kencan romantis penuh bunga dan musik piano. Itu jelas bukan. Tapi aku datang juga. Dengan sengaja.

Saat pintu apartemen tertutup di belakangku, Ruyi berdiri dekat sekali sampai aku bisa mencium aroma parfumnya—maskulin dan tajam. Tangannya menyentuh rahangku. Matanya, hitam dan dalam, menelanjangiku tanpa meraba.

“Kamu yakin?” tanyanya.

Aku tidak menjawab dengan kata-kata. Bibirku bergerak duluan.

Aku merasakan kontol kerasnya menusuk mesra lubangku, seluruh tubuhku berdenyut.

Malam itu, aku menyerahkan semuanya. Harga diri, harapan, dan kewarasan. Aku tidak peduli apakah itu cinta atau hanya pelarian. Aku hanya ingin merasakan apa yang semua orang kejar darinya.

Begitu semuanya selesai, Ruyi memunggungiku. Tidak ada pelukan. Tidak ada kata manis.

Besok paginya, pesan singkat masuk.

Kamu orang baik. Jangan terlalu berharap. Aku nggak mau hubungan.

Itu saja. Tanpa emosi.

Aku menatap layar lama sekali. Lalu aku tertawa. Tawa getir yang terdengar seperti pecahan kaca. Lucu sekali. Aku sudah tahu sejak awal, tapi tetap masuk ke jebakan yang sama.

Aku pikir aku akan hancur. Ternyata tidak. Rasanya sakit, tapi anehnya melegakan. Seperti menarik plester yang menempel terlalu lama di kulit.

Mungkin aku terlihat bodoh. Tidak masalah. Untuk pertama kalinya, aku merasakan sesuatu yang benar-benar hidup, meskipun itu menyakitkan.

Ruyi adalah badai. Dan aku hanya rumah kecil yang diterjang sampai roboh.

Namun dari puing-puing itu, aku berdiri lagi.

Aku pernah jadi korban, tapi kini aku tahu: aku pantas mendapatkan seseorang yang tidak hanya meminjam tubuhku, tapi juga menggenggam hatiku.

Kilas Rasa