Genjod Aku Sekali Lagi
Malam ini aku minta bfku genjod, aku ingin merasakan kontol kerasnya, mungkin untuk yang terakhir.
Aku mencintainya, ngentotnya jago, enak, bikin merem melek. Lubangku berdenyut oleh gesekan kontol beruratnya.
Tapi, setelah ini aku harus melepasnya.
-00-
Aku tahu sejak awal. Selingkuh itu seperti bau parfum tajam yang menempel di udara; kamu tak perlu melihat botolnya untuk yakin.
Begitu juga aku, tahu tanpa perlu bukti foto atau chat panjang.
Perubahan kecil selalu lebih jujur daripada pengakuan. Balasan pesan yang semakin dingin, tatapan yang selalu menoleh ke layar ponsel, dan cara dia tersenyum—bukan lagi padaku, tapi ke seseorang yang tinggal di balik notifikasi.
Aku pura-pura tak tahu. Kadang kepura-puraan adalah strategi, bukan kelemahan.
Aku tidak mau berubah jadi orang yang ngamuk, meratap, atau memohon. Drama bukan gayaku.
Jadi aku lanjutkan hidup seolah semua normal. Kami tetap nonton film bareng, makan di tempat favorit kami, bahkan sesekali tertawa bersama.
Orang lain mungkin melihat kami sebagai pasangan bahagia, yang solid dan hangat. Ironisnya, mereka tidak tahu bahwa kehangatan itu sudah jadi abu.
Aku belajar menerima kenyataan bahwa manusia sulit setia. Kesetiaan itu mahal, dan tidak semua orang sanggup membayar dengan komitmen.
Banyak yang hanya mampu membayar dengan kata-kata manis, janji palsu, dan pelukan sementara.
Tidak apa-apa. Aku tidak ingin menjadi hakim kehidupan orang lain; aku hanya ingin menjaga kewarasan sendiri.
Malam itu, aku mengundangnya ke apartemenku. Aku menyiapkan suasana hangat, cahaya lampu redup, playlist lama kami yang penuh kenangan, dan aroma kopi yang biasa ia suka.
Ia datang dengan wajah yang sedikit gugup—campuran rasa bersalah dan kebingungan.
Tapi aku tetap tersenyum tenang. Tak ada konfrontasi. Tak ada tanya “kenapa?” atau “siapa?”. Semua sudah lewat batas untuk dipertahankan.
Kami duduk berdampingan, minum kopi pelan-pelan seperti sedang memperpanjang waktu yang sebenarnya sudah habis.
Lalu aku mendekat, memeluknya, dan tanpa banyak kata kami berciuman.
Kami berhubungan, perlahan, tenang, seperti dua orang yang sudah sepakat bahwa itu adalah salam perpisahan yang tidak perlu diumumkan.
Aneh, ya? Tapi rasanya seperti menutup buku dengan hormat, bukan merobek halaman terakhir.
Setelah semuanya selesai, aku menatap matanya. Ia tersenyum kecil seolah berterima kasih karena aku masih memperlakukannya dengan lembut.
Ia tak tahu bahwa itu bukan kelembutan, tapi perpisahan yang paling rapi.
“Aku mau putus,” kataku, pelan, tanpa gemetar.
Ia terdiam. Napasnya putus sebentar.
“Kenapa?” tanyanya, padahal ia tahu jawabannya jauh sebelum aku mengucapkannya.
Aku hanya tersenyum. “Karena aku sudah selesai.”
Tak ada teriakan. Tak ada air mata. Ia menunduk, mengambil jaket, dan pergi. Pintu tertutup pelan, tapi di telingaku terdengar sangat jelas, seperti buku tebal yang akhirnya ditutup.
Aku duduk sendirian, menatap ruang kosong yang terasa justru lebih lega. Rasanya seperti menjalani operasi tanpa bius: sakit, tapi menyembuhkan.
Aku tahu suatu hari akan ada orang lain yang lebih siap menjaga, bukan sekadar memiliki. Untuk sekarang, aku menikmati sunyi yang jujur, daripada kebersamaan yang penuh kebohongan.
Dan jika ada yang menanyakan apakah aku menyesal? Tidak. Kadang, mencintai diri sendiri adalah keputusan paling setia yang bisa kita lakukan.
