Ngajari Botiku Jadi Top
"Coba kamu entot aku, nanti saat nikah sama cewek, kamu juga harus ngentot kan?"
Botiku agak kikuk, tapi kontolnya mulai bisa ngaceng keras dan perlahan memasukkannya ke lubangku.
Ada semacam denyutan nikmat saat dientot boti yang selama ini justru sering kuentot.
Dia bergerak pelan, maju mundur. Arghhhh... Enak juga genjotannya.
-00-
Kafe itu tersembunyi di balik gerbang besi berkarat yang ditelan daun-daun rambat. Seperti rahasia kecil yang tak sengaja ditemukan.
Begitu kami melangkah masuk, aroma kopi panggang menyambut, bercampur suara gemericik air dari kolam kecil yang dijaga koi gemuk berwarna jingga menyala.
Di setiap sudut, pot-pot bunga menggantung, seolah waktu melambat agar semuanya sempat tumbuh.
Botiku duduk di seberangku, mengenakan hoodie hitam yang mulai memudar warnanya.
Wajahnya teduh, tapi matanya menyimpan gelombang yang tak pernah benar-benar tenang.
Tangan kami masih saling menggenggam di atas meja kayu panjang yang permukaannya dihiasi guratan usia.
Di atasnya, dua cangkir latte mengepulkan uap halus seperti doa yang belum selesai.
“Apa hubungan kita akan bertahan lama?” tanyanya pelan, seperti takut suara sendiri akan memecahkan kaca.
Aku tersenyum tipis, menatap daun-daun yang bergoyang oleh angin.
Pertanyaan semacam itu selalu terdengar sederhana, tapi jawabannya bisa menjerat leher siapa saja.
Cinta jarang lurus, dan hubungan kami bukan jalan tol: kadang macet, kadang berliku, kadang terjebak di tanjakan panjang yang membuat napas tercekat.
“Aku ingin menikah suatu hari nanti,” lanjutnya. “Sama cewek. Punya anak. Bangun keluarga yang normal.”
Ia menekankan kata normal seperti ia sedang meminta maaf pada dirinya sendiri.
“Aku takut kalau aku nggak belajar dari sekarang, aku bakal gagal. Aku takut… nggak akan bisa ngelepas sisi botiku.”
Aku menatapnya lama. Uap kopi berubah menjadi garis tipis di udara sebelum hilang.
Dunia terasa sunyi, hanya angin yang memindahkan bau rumput dari satu sudut ke sudut lain.
“Kamu bisa,” kataku. “Tapi kamu harus berjuang lebih keras dari orang lain. Karena kamu sudah terbiasa jadi boti, sekarang kamu coba jadi top,” Suaraku serak, tetapi pasti.
Dia menunduk, bibirnya bergetar seperti daun kecil disentuh hujan pertama.
“Selama ini kamu jadi boti,” lanjutku. “Kamu belajar diam, belajar tunduk, belajar mencintai dengan cara yang melukai dirimu sendiri. Kalau kamu ingin berdiri sebagai kepala keluarga nanti, kamu harus belajar menegakkan tubuhmu. Ngambil keputusan. Menjadi pemimpin. Mulai membangun dirimu ulang dari dasar.”
Aku meraih tangannya lebih kuat, seolah ingin memberikan struktur pada sesuatu yang hampir runtuh.
“Aku siap bantu kamu. Selama kamu sungguh-sungguh. Aku nggak akan pergi. Kita bisa berjalan bareng, meski nanti jalan kita bercabang.”
Matanya berkaca-kaca. Angin mengibaskan daun jambu biji di atas kami, menaburkan bayangan bergerak seperti air beriak.
“Takut kalau kamu beneran pergi,” katanya pelan.
Aku tertawa kecil, seperti memeluk kesedihan.
“Aku mungkin nggak akan jadi pelabuhan terakhir kamu. Tapi aku mau jadi kapal yang memperbaiki layar kamu, sebelum kamu berlayar lebih jauh.”
Dia menutup mata, seolah menyimpan kata-kata itu di tempat paling sunyi dalam dirinya.
Di luar, matahari jatuh pelan melewati sela pepohonan. Burung gereja yang sejak tadi hinggap di pagar besi terbang pergi, meninggalkan denting tipis dari sayapnya.
Kami menghabiskan sisa senja di kafe itu, tanpa perlu berkata apa-apa lagi.
Lalu pulang dan menuju kamar kosku, melampiaskan hasrat seksual kami.
Namun beberapa minggu ini aku ganti posisi, lebih sering nungging dan ngangkang buat dia belajar jadi cowok.
Memang bukan hal mudah, namun perlahan botiku kini telah menjadi top yang lihai dan justru aku tak ingin melepasnya.

