Berpisah Saat Mulai Nyaman



Isman dan Razel pertama kali bertemu melalui sebuah aplikasi pelangi. 

Isman, mahasiswa magang, tinggal di kamar kos sederhana di pinggiran kota kecil. 

Kamarnya tak terlalu besar—hanya cukup untuk satu kasur di lantai, meja belajar yang dipenuhi buku, dan gantungan baju di sudut. 

Dindingnya dihiasi coretan tangan Isman sendiri, membuat suasana kamar menjadi sedikit lebih hidup.

Di awal perkenalan, mereka hanya berbincang lewat pesan. Isman bercerita tentang bagaimana ia sibuk dengan magangnya, sementara Razel, seorang ilustrator lepas, sering menceritakan kelucuan klien-kliennya. 

Hingga suatu hari, setelah obrolan yang semakin dalam, Razel memberanikan diri mengajak bertemu.

"Kalau kamu nggak keberatan, aku bisa datang ke kosmu," tulis Razel di aplikasi itu.

Isman sempat ragu. Namun, ada sesuatu tentang Razel—kehangatan di balik cara bicaranya, rasa penasaran yang ia bangun dengan pertanyaan-pertanyaan kecil—yang membuat Isman akhirnya setuju.

Pertemuan pertama mereka berlangsung di kos Isman. Razel datang dengan membawa sekotak mi goreng favorit mereka. 

Malam itu mereka makan bersama di lantai sambil mengobrol. 

"Kamarmu kecil, tapi hangat," kata Razel sambil mengedarkan pandangannya.

"Hangat karena ada kamu," jawab Isman setengah bercanda.

Dari sana, kebiasaan mereka bertemu semakin sering. Razel membawa kreativitas ke dalam hidup Isman. 

Mereka menggambar bersama di tembok kosong yang tersisa, mencoret-coret dengan spidol warna-warni. 

Razel bahkan mengajarkan Isman menggambar sketsa wajah. 

"Ini bukan aku," protes Razel saat Isman memperlihatkan hasilnya.

"Sudah bagus untuk pemula!" balas Isman, tertawa lepas.

Kadang, mereka hanya duduk di kasur, berbagi earphone, mendengarkan playlist favorit Razel yang penuh dengan lagu-lagu indie yang menenangkan. 

Di lain waktu, mereka membuat makanan sederhana di kos—nasi goreng telur khas Isman atau mi instan pedas dengan bakso favorit Razel.

Ketika malam dingin tiba, Razel sering kali memeluk Isman dari belakang. 

"Kamu butuh kehangatan lebih dari sekadar selimut," katanya lembut, membuat Isman tersipu.

Di akhir pekan, Razel sering mengajak Isman keluar. Mereka berjalan-jalan di sekitar kota kecil itu, menikmati pasar malam dengan lampu-lampu kuning yang menggantung rendah. 

Mereka mencoba jajanan kaki lima, dari martabak manis hingga sate ayam.

"Kamu harus coba ini," kata Razel, menyuapkan sepotong martabak ke mulut Isman.

"Manis banget, kayak kamu," goda Isman, membuat Razel memutar mata pura-pura kesal.

Mereka juga mengunjungi taman kota, duduk di bangku kayu sambil bercerita. 

Razel pernah membawa Isman ke bukit kecil di pinggir kota, tempat mereka bisa melihat lampu-lampu kota yang berkilauan. 

"Nanti kalau kita jauh, aku akan ingat tempat ini," kata Razel sambil memegang tangan Isman.

"Semoga kita nggak perlu jauh," balas Isman pelan.

Hari terakhir magang Isman akhirnya tiba. Pagi itu, Razel datang ke kos untuk membantu Isman mengemasi barang-barangnya. 

Mereka bekerja dalam keheningan yang berat.

Di depan pintu kos, Isman berdiri dengan ranselnya. Razel memandangnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan—campuran rindu yang belum sempat datang dan rasa kehilangan yang terlalu dini.

"Aku nggak tahu kapan kita bisa ketemu lagi," suara Razel bergetar.

Isman menunduk, mencoba menyembunyikan matanya yang mulai memerah. 

"Aku juga nggak tahu, tapi aku nggak akan lupa kamu."

"Janji sama aku, kalau kamu butuh pelangi, kamu akan cari aku," pinta Razel, air mata mulai mengalir.

Isman mengangguk, lalu memeluk Razel erat. 

"Aku nggak tahu harus bilang apa, tapi aku janji. Kamu pelangi terindah yang pernah aku punya."

Ketika akhirnya mereka berpisah, langkah kaki Isman terasa berat. Razel tetap berdiri di depan kos, memandang punggung Isman yang semakin jauh. 

Di langit, warna-warna senja mulai memudar, seolah merayakan dan meratapi akhir dari sebuah kisah.

Posting Komentar

0 Komentar